Bahasa bukanlah dewa
Masyarakat Lumpur, Bahasa bukanlah dewa, anggap saja
itu sebuah kesimpulan dengan memposisikan diri sebagai pengamat yang tidak
ingin diamati. Bisa saja anggapan itu hanyalah sebuah wacana deskriminasi yang
akan disimpulkan sebagai buah wacana yang gagal, atau juga sebaliknya yang
gagal adalah yang berhasil. Pada permukaan inilah bahasa mempunyai nilai peran
oposisi sebagai teks yang tidak ingin gagal. Bahasa selalu saja memasuki
ruang-ruang dimana kesan tanpa makna “sebab” dan “akibat” selalu muncul. Dengan
menganut sistem atau konsep Jaques Derrida, makna bukanlah dewa. Maka dapat
dianalogikan juga jika bahasa bukanlah dewa.
Jika kita berangkatkan pada konsep
Scorates, maka dalam makna, bahasa tidaklah berhasil mecapai tujuannya
masing-masing. Kejelasan dan ruang-ruang dimana totaliter yang menyangkut
gejal-gejala tidak harus diungkapkan secara langsung, bahasa sekali lagi
bukanlah dewa. Dalam daya ingat, dan dimensi tertutup, bahasa cenderung
menutupi makna-makna yang jika di angkat maka makna itulah kelemahan bahasa. Sehingga
memunculkan doktrin-doktrin fundamental. Anggapan yang juga salah jika bahasa
adalah dewa, jika mengaitkannya pada cabang-cabang ilmu Linguistik.
Daya dimensi yang kosong tadi
mengangkat bahasa dalam ruang imajinasi tingkat tinggi. Dalam kaitannya dengan
otak Manusia, maka bahasa merasa berhasil mereduksi tingkatan totalitas makna
tadi. Situasi tersebut menandakan jika makna dan kejadian dalam bahasa ialah
ruang-ruang yang dianggap oleh Manusia sebagi titik abstrak. Padahal ruang-ruang
abstrak tersebut hanyalah buatan yang ingin dibuat-buat oleh “Manusia” untuk di
jadikan objek yang tidak berhasil.
Tingkatan inilah yang akhirnya
mengendalikan dimensi-dimensi bahasa yang juga akhirnya bisa dikatakan sebagai
budaya teks, filsafat. Seandainya Ferdinand desaussure bisa mengenali apa itu
bahasa, mungkin dalam konsepnya dia tidak mendewakan bahasa sebagai dimensi
selayaknya dewa. Dengan keberadaan-keberadaan semacam ini, memunculkan faktor-faktor
genetik yang kaitannya terhadap masa lampau.
Adanya masa lampau yang semacam itu,
memunculkan anggapan jika bahasa sudah terlanjur mencapai titik ke-emasan atau
titik kejayaan. Dalam ruang itulah akhirnya bahasa akan dikenang, dan
selanjutnya berhasil mencapai titik dewa. Kegagalan masa lampau itulah yang
akhirnya mencapai dimensi dimana bahasa terasa bisa menjajah otak-otak Manusia,
melalui sebuah harapan, cinta, sayang, sakit, dan perubahan. Dengan hal semacam
ini, akhirnya Derrida bisa melampaui kemakmuran bahasa dan menertawakannya,
Derrida mempunyai pisau fenomenologi yang menurutnya melampaui bahasa dan makna.
Bangkit Prayogo, Masyarakat Lumpur, Majalah Indeks edisi
ke-10
0 komentar:
Posting Komentar