
ROBOT-ROBOTAN
Bangkit
Prayogo
Komunitas
Masyarakat Lumpur Bangkalan
AKU SANGAT SUKA ROBOT ITU, DIA TERKADANG MENARI, TERKADANG
BERLARI, DAN TERKADANG BERSENANDUNG SANGAT ROMANTIS KETIKA AYAHKU SEDANG
MENYETEL SALAH SATU NYANYIAN FAVORITNYA, KUBERITAHU JUDULNYA SEPANJANG JALAN
KENANGAN.
“Ayah perbaiki robot-robotanku.”
Aku mulai mengiba pada ayah, sebab
robot-robotanku ini permainan yang sangat tidak bisa aku lepaskan, entah kenapa
aku seakan hidup di dalamnya, dan dia seperti pahlawan bagiku. Kemudian ayah
menjawab dengan malas, mencecapkan lidahnya di sekitar gelas berisi kopi.
“Nanti ayah belikan yang baru, itu
sudah rusak, sudah tidak layak dimainkan.”
Ayah mulai tidak mengikuti
keinginanku akhir-akhir ini, mulai dari sepatu, sepeda, jam tangan, kacamata,
sisir rambut dan utamanya robot-robotanku ini, dalam hatiku aku bergumam “Ih
aku kesal sama ayah, aku mulai tidak percaya kata-kata ayah.”
“Nanti ayah
belikan yang baru, ayah janji padamu.” Ayah seakan mendengar gumaman hatiku
barusan, entahlah.
“Aku tidak
ingin yang baru.”
“Yang baru
kan lebih bagus nak?” Ayah masih saja mencecapkan lidahnya, seakan rasa kopi
itu pahit sekali, mungkin rasanya memang pahit, tapi akankah pahitnya hatiku
ini sebagai anaknya, melihat robot-robotan, permainan yang paling anaknya sukai
rusak, dan tidak dia dengarkan. Mungkinkah ayah mengerti perasaanku.
“Ayah
mengerti perasaanmu nak, ayah paham perasaanmu nak.” Sekali lagi ayah seperti
mengetahui gumaman hatiku ini, ada yang aneh.
“Apa yang
aneh nak.”
“Ayah
nguping gumaman hatiku ya?”.
“Maksudnya
apa nak.”
Ayah berdiri, menghampiriku, suara
kakinya diseret-seret seperti orang yang tidak makan dua hari dua malam,
tangannya gemetar, tubuhnya bergelembung sedikit-demi sedikit matanya berair.
“Ayah
kenapa, ada yang aneh dengan ayah hari ini.”
Aku mulai curiga, aku berjalan
mundur, mengindari datangnya ayah dari arah depanku. Entahlah aku sangat takut
melihat ayah hari ini, kulihat jam masih siang, iya masih jam 12.00. kalau ayah
kesurupan sangat tidak mungkin, karena masih siang hari, tapi kenapa dengannya.
Ibu masih belum pulang dari rumah temannya, katanya sih ada arisan, dasar
ibu-ibu. Kakakku dia selalu saja dapat kelonggaran, pulangnya malam terus,
jarang di rumah dan katanya dia anak paling disegani di sekolahnya, aku tidak
pernah percaya dengannya. Kembali lagi ke ayah.
“Nak,
sakit.” Ayah mulai mengucapkan kata-kata itu “sakit”, kata-kata yang punya arti
sangat aku takuti, seperti keadaan menderita. Aku terus berjalan mundur,
kutolehkan wajahku, dan jarak 5 meter lagi tidak ada jalan, hanya ada tembok,
dan lukisan tentang pangeran diponegoro, tokoh pahlwan Indonesia.
“Ayah
kenapa, tolong jawab pertanyaanku yah!.”
“Nak sakit.”
Aku mulai geram dengan perilaku ayah
ini, aku takut, jujur aku takut, tubuhku mulai berkeringat, jemariku lemas
sebab udara yang juga pengab menjadi dingin sekali. Seperti ada hawa aneh, dan
memang teriakku tanpa henti-hentinya tidak bisa kubayangkan lagi, ayah makin
dekat saja. Disektiar tubuhnya mulai ada gemercik wajah yang aneh, dan sangat
aku pahami jika tubuhku ini seperti kerasukan hal-hal yang aneh. Aku sangat
tidak mengerti akan keadaan ini.
“Yah!.”
“Apa nak.”
Jawab ayah sangat memelas, dan suaranya agak gemetar seperti orang yang tinggal
mencari mangsanya yang lemas tak berdaya, “vampir” mirip itu, gumamku dalam
hati.
“Ampun yah,
ampun.”
“Kenapa
minta ampun.” Jawab ayah, mulai ragu sebab tubuhku sudah mentok di tembok, tak
ada jalan lagi, yang ada hanya keringat dan robot-robotanku. Anggap saja aku
ini korban ketidaktahuan orang dewasa, tidak mungkin ayah begini, pasti ada
sesuatu.
“Ayah tidak
apa-apa.”
“Jawab yang
jujur.” Sanggahku kepada ayahku ini, wajahnya mulai menoleh sekitar, dia ingin
menghisap darahku ini, aku yakin, yakin denga presentase 100 persen penuh.
Matanya melirik tubuhku, di sebelah leherku, ia ayahku berubah jadi vampir.
Kenapa harus aku yang menjadi korbannya, aku coba berlari, tapi tidak bisa,
tubuhku lemas melihat ayahku yang akan menghisap darah anaknya ini, anak yang
masih tidak tahu apa-apa tentang dunia luar sana.
“Ampun!”
Teriakku sekencang kencangnya.
“Kenapa kamu
ini sih, ayah tuh loh sakit perut, dan saking sakitnya ayah minta tolong ke
kamu untuk mencari obat di kamar ayah, ayah sekarang mau ke kamar mandi, aneh.”
Ayah pergi terburu-buru, memegang pantatnya dan kurasa aku mulai tidak mengerti
kejadian ini, tubuhku masih lemas, vampir, pembunuhan, kekerasan di bawah umur.
Aku tetap melamun sangat tidak diduga-duga.
“Cepat
ambilkan obatnya!” Teriak ayah dari dalam kamar mandi, dan seketika itu aku bergegas
menuju kamar ayah untuk mengambil dan mencari obatnya, robot-robotanku entah
bagaimana nasibnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.30,
waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga, ibu ada di ruang tamu dengan
ayah, melihat acara televisi dan aku mendengar dari luar pembicaraan mereka,
sepertinya mereka membicarakan permasalahan yang ada di televisi itu. Acara
berita yang sangat mereka sukai, apalagi tentang permasalahan bangsa ini.
Sedangkan aku tiduran di kamar, aku masih terheran-heran dengan kejadian tadi
siang, apa yang aku takutkan? Dan mungkin aku terlalu cepat menyimpulkan
sesuatu yang belum tentu benar. Aku mulai melihat jendela sambil tiduran di
kamar mungilku ini, dari jendela itu aku bisa melihat burung-burung bercumbu,
dan semut-semut yang berjalan mencari makanan. Selain itu, aku dapat mendengar
bunyi angin yang merdu, seperti nada-nada ala jepang, yang mengalir melewati
pegunungan dengan air datang seperti memulai arus indahnya itu. Indah sekali
bunyi angin ini, dari sudut lainnya aku melihat cicak berbicara padaku, seperti
mengucapkan salam perkenalan, “Ih cicak yang genit.” Aku memang sangat
menganggap cicak itu hewan yang genit, coba kalian lihat saat ekornya bergerak
mencari mangsanya yang perawan, dan dari robot-robatanku ini, dia ingin kembali
bisa berbunyi, bunyinya mirip gajah, tapi setengah harimau, dan seperempatnya
lagi kucing buaya darat.
Setelah kurasa puas melihat isi di
luar jendela itu, aku kembali melihat robot-robotanku, kata ayah robot-robotan
ini sulit ditemukan lagi, dan mungkin sudah tidak diproduksi lagi, sebab ayah
yang membelinya sewaktu ayah dan ibu berlibur di kota Bandung dan waktu itu
umurku masih 3 tahun, saat ini umurku sudah 7 tahun, tua kan robot-robotanku
ini, itulah mengapa ayah sedikit tidak mau aku bermain ini lagi, sebab ya itu
tadi, mungkin benar kata ayah. Aku sudah tidak pantas memainkannya.
“Nak, cepat
kesini.” Ibu memanggil dengan suaranya yang khas sekali, dia ibu yang sangat
ramah, penyabar dan penyayang. Ibu paling sempurna buatku.
“Iya.” Sesegera
mungkin aku berjalan menuju ruang tamu, dan aku melihat ayah ibu sedang
berbincang-bincang sembari meletakkan bungkusan yang aku tebak itu ialah kado.
Aku berfikir lagi, apakah robot-robotan, atau jangan-jangan sejenisnya. Padahal
aku ingin di perbaiki saja, karena ayah sendiri yang mengatakan kalau mainan
ini sudah tidak produksi lagi. Tapi kalau pun itu mainan robot-robotan yang aku
inginkan, maka aku sangat bersyukur mendapatkan orang tua seperti mereka ini.
“Bukalah.”
Suruh ayah kepadaku, matanya kulihat berair, dan wajah ibu mulai tersenyum
manis, sangat aku sayangi mereka ini.
“Iya yah.”
Jawabku singkat.
Pelan-pelan aku membukanya, dengan
rasa berdebar-debar, seperti suatu keadaan layaknya di film-film karton setiap
hari minggu itu. Entahlah kejadian tadi siang, atau pun sebelumnya lagi. Aku
tidak peduli akan itu semua, saat aku melihat hadiah yang mereka persembahkan
buatku, aku rasa hari ini akan kucatat di buku harianku, walau pun aku masih
belum lancar untuk menulis. Hadiah robot-robotan yang sama persis dengan yang
aku miliki sekarang, aku sangat senang, sangat gembira. Aku seketika memeluk
mereka, sangat erat, tanpa memberikan ruang mereka berbicara.
“Terimakasih
yah, bu.” Ucapku sangat manis.
Ayah kemudian melepaskan pelukanku,
dan tiba-tiba wajahnya seperti tadi siang, ibu juga begitu mirip dengan ayah.
Aku mulai cemas lagi, saat aku bahagia tiba-tiba saat ini juga aku merasakan
ketakutan, apakah ayah dan ibu hanya berencana.
“Jangan
bercanda yah, bu.” Mereka tidak menjawab.
Seketika aku segera melihat robot
baru ini, aku melihat matanya memerah, bibirnya tersenyum, dan tangannya
bergerak seperti ingin membunuhku. Di televisi seketika saat itu juga ada
sebuah berita yang memberitakan tewasnya semua anggota keluarga setelah membeli
robot buatan salah satu pabrik, aku samar melihatnya dari jauh. Tapi akau yakin
jika itu robot yang sama. Robot yang ada di hadapanku ini, aku mendengar pembawa
acara itu mengatakan. “Jangan membeli mainan untuk anak anda dengan
sembarangan.” Setelah itu, aku tidak tahu kejadian selanjutnya, sungguh aku
tidak tahu. Sebab setelah aku terbangun, aku melihat ayah dan ibu terbaring di
sebelahku, mereka berdua tidak sadarkan diri, dan aku berada tepat di tengah
mereka. Samar-samar aku melihat kakakku sedang membaca koran, dengan berita
utama “Bahayanya permainan zaman sekarang.”
“Oh ternyata
kamu sudah siuman.” Kakakku menghampiriku dia tersenyum melihatku yang sadar,
dan memelukku penuh kasih sayang.
“Itulah ceritaku anak-anak, sebelum
pulang bilang kesemua orang tua kalian, jangan dengan gampang membeli mainan.
Dilihat dulu baik dan buruknya, untuk kalian semua juga jagalah orang tua
kalian baik-baik, mereka semua harta paling berharga di dunia ini, mengerti.”
“Mengerti pak.” Jawab mereka dengan
serentak, dan sesegara mungkin pulang menuju pelukan orang tuanya
masing-masing. Sudah 20 tahun setelah kejadian itu, aku masih saja trauma
dengan robot-robotan. Aku pun pulang mengikuti anak-anak didikku ini.
0 komentar:
Posting Komentar