Sabtu, 02 Mei 2015

DEMOGRAFI MODERN



TRANSISI DEMOGRAFI MODERN TERHADAP
FLEKSIBILITAS SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
Oleh Bangkit W Prayogo

Peradaban menghasilkan sejarah yang “menarik” untuk diamati, dan waktu erat kaitannya dengan perubahan dunia yang semakin menuju pada pengaruh kehidupan sosial yang rumit. Perubahan itu, telah diprediksi sebagai gejala yang muncul semenjak awal abad 20, dengan pengkajian yang lebih rumit lagi, misal, kemajuan dibidang industri yang secara tidak langsung mereduksi pola dan hubungan tingkat sosial pada tiap negara. Karl Marx (dalam Giddens, 2009:12) menyebutkan bahwa “pencuri, penipu, pengemis, penganggur, orang kelaparan, orang sengsara dan orang yang bekerja dikalangan kejahatan, semuanya ini adalah bentuk-bentuk yang tidak ada bagi ekonomi politik”. Secara ambigu, Marx telah mengatakan jika dalam perdebatan menuju dunia modern hal yang paling utama adalah bagaimana hidup dengan sejahtera. Tanpa memikirkan permasalahan yang menuntut “agama”, dan manusia terkungkung dalam permasalahan itu.
Keadaan dinamis secara tolak ukur dapat dipastikan terjadi dalam perkembangan bangsa Indonesia sejak reformasi 1998, dan induknya jauh sebelum masa itu, yakni ketika tahun setelah pemusnahan PKI 1965. Studi dan pola industri turut merasakan dampaknya, dan secara tidak langsung menyebabkan pengaruh tentang kependudukan yang pergerakannya makin mengkhawatirkan. Pasca reformasi, permasalahan “kependudukan” sangat tidak terkendali. Progresivitas perkembangannya tidak diimbangi dengan fungsi-fungsi kultural yang dapat menampung desakan aspek kepentingan masyarakat, khususnya pola pikir. Sebagai contoh pada ranah pendidikan yang kurang dapat dipahami sebagai salah satu pembentuk mental kesadaran masyarakat. Hasilnya tahapan menajemen pada hampir setiap sektor mengalami stagnasi, dan yang selamat harus siap sedia berperan serta menjadi individu yang kapitalis.
Dunia modern adalah sebab ketika semua dipengaruhi hidup kapitalis, secara implisit memang begitu adanya. Hal yang tidak luput adalah permasalahan di mana penduduk atau masyarakat tidak terlalu produktif diberbagai bidang. Indonesia telah tertinggal sebagai negara berkembang yang pasif, yang selalu mereduksi bidang-bidang sebagai tolak ukur tetap. Di ruang yang terbuka pada setiap zaman modern kenyataan adalah takdir” bagaimana menyelaraskan antara konsep dan kenyataan untuk dipertimbangkan lagi. Setelah budaya modern yang agak memaksa itu, tiba persoalan tidak hanya menyelaraskan pada “takdir” tapi lebih kepada “tantangan”. Kehadiran banyaknya kajian yang tidak relevan juga menyebabkan permasalahan tidak dapat dihentikan. Dampak dari tantangan itu tidak lebih melibatkan ruang sosial, dalam tahap ini mulai dari “revolusi Eropa” awal abad 20 dan “reformasi Indonesia 1998”  adalah sedikit dampak budaya modern, sehingga tidak ada tingkatan “ada”. Sosial akhirnya yang mendukung berakhirnya masa di mana setiap masyarakat Indonesia mendapatkan kelayakan hidup, meskipun perlu dicatat bahwa kelayakan itu sendiri bertolak ukur pada masa lalu. Kenyataan ini adalah bagian dari Demografi Modern.
Demografi modern menuntut kehadiran permasalahan yang lebih luas, artinya kesinambungan antara permasalahan penduduk tidak akan lepas dari permasalahan sosial. Pengaruh sosial memang akan merubah pandangan bahwa sesuatu yang lebih buruk akan terjadi seterusnya. Dengan adanya permasalahan seperti itu perlu adanya rasa “sadar” dalam hal ini dengan kaitannya terhadap negara Indonesia. Situasi setelah reformasi” adalah esensi, terkadang juga menjadi langkah melupakan dampak setelahnya. Bonus demografi hanyalah rupa dalam arti harapan jika memang dikaitkan dengan Indonesia. Dalam bidang apapun masyarakat belum siap menerima budaya modernitas, sebab yang paling inti adalah komoditas pasar dan ketenagakerjaan yang luput dari sasaran dan tidak berjalan sesuai harapan. Transisi kebudayaan dalam demografi modern erat kaitan dengan permasalahan sosial “dampak”. Sebuah transisi itu akan melibatkan berbagai bidang secara esensi yang telah dikaitkan dengan sumber perdagangan bebas (kapitalisme). Semua berawal dari akar “sosial” yang akan memengaruhi situasi setelahnya (transisi).
Transisi menuju ke dalam bonus demografi tidak akan lepas pada keadaan industri dan keadaan sosial masyarakat. Kita, selaku bagian masyarakat, setidaknya  memberangkatkan diri ke dalam konsep “perdagangan” untuk suatu hasil yang akan menjadi pijakan selanjutnya. Sebab, permasalahannya terletak belum mampunya suatu perubahan pada ketenagakerjaan sebagai nilai (upah) yang rendah. Terdapat kesenjangan yang mendalam, setelah reformasi 1998 peluang-peluang kerja masyarakat juga tidak diimbangi dengan pertumbuhan masyarakat yang untuk kesekian kali mencetak masyarakat menjadi penganggur.
Bentuk esensinya mengedepankan masyarakat sebagai budaya, ketika menuju ke hal itu bagaimana mensejahterakan, dan bagaimana menuju peluang yang lebih indah setelahnya. Bangsa ini termasuk bangsa berkembang, dan ketika berbicara bonus demografi agaknya menjadi tugas yang harus dipikul bersama.
Jumlah manual produksi masyarakat juga dinilai kurang mampu menghadapi kelayakan dunia modern, sebab kepentingannya masih terperangkap pada kemustahilan. Tingkatan yang menarik lebihberbicara daya atau potensi, yaitu rentan umur 15-60 yang memang menjadi umur aktif untuk memajukan pendapatan sebuah bangsa. Tetapi ini tidak terjadi di Indonesia, sebab paradigma fungsi dan realita kongkritnya justru menciptakan kesenjangan menuju pendidikan dan pola sosial yang salah.
Sejak reformasi, penduduk Indonesia lebih cenderung berjalan di tempat, dan angka pertumbuhan penduduk semakin menggila, tidak diidealkan dengan perkembangan intelektualitas masyarakat menuju modernitas. Pasar bebas menuntut itu, manusia adalah mesin yang harus mengakui jika permasalahan modern mencangkup permasalahan intelektual tinggi, daya jual sebagai bentuk yang pasif itu tidak akan dilihat dengan mata sebagai pengusaha.
Bonus demografi memelihara nilai fundamental untuk menjadikannya sebuah “harapan”, meski bentuknya masih terselubung. Oleh sebab itu, setiap manusia Indonesia haruslah menjadi manusia individu dan mengedepankan “produksi tunggal” sebagai kesuksesan. Individualitas tersebut, ketika menjadi pengusaha  tidak akan berpikir tentang kekayaan sendiri. Justru fleksibilitas sosial yang hendak dicapai akan tercipta ketika berbicara “produksi”. Manusia yang mengedepankan struktur kerja sama akan menjadi bernilai kedepannya. Bukan selalu mengajak menjatuhkan jumlah produksi itu sendiri. Esensinya lebih kepada bagaimana mencairkan dan menunjukkan pola-pola keindahan tadi, saling menghilangkan konsep-konsep kapitalis adalah kuncinya.
Produksi tidak akan tercapai jika masih mengharapkan kapitalisme sebagai induk kesejahteraan bangsa. Sejarah mencatat bagaimana kapitalisme seluruhnya menjadi penyebab hilangnya moralitas sesama manusia. Seperti saat Karl Marx menyuguhkan sebentuk ironilitas yang agung kepada manusia tentang optimalisasi masyarakat terhadap dunia modern. Di satu sisi, Eropa berhasil mengatasi, dan negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami permasalahan akan hal ini. Solusinya lebih kepada bagaimana ironilitas itu disejajarkan kepada konsep fleksibilitas terhadap kenyataan sosial, dan perannya akan berkaitan langsung kepada keadaan sosial bangsa yang sangat kompleks bentuknya, mulai bentuk dari ranah kecil sampai besar.
Transisi modern yang fleksibel menjadikan potensi-potensi masyarakat yang berumur 15-60 sebagai masa aktif kerja ke dalam esensi kerja yang efektif, seperti bekerja wirausaha dan bertani yang telah ditinggalkan. Sehingga persaingan individu tidak tampak terlalu emosional terjadi, rentan 15-60 tahun dalam siklus perkembangan akan menjadi penting ketika rentang tersebut juga distimuluskan dengan pola intelektual tinggi bernama “pendidikan karakter”.
Hal yang lebih mengerucut lagi adalah bagaimana menyediakan tempat, keadaan, siklus sosial, dan wadah yang berhasil sebelum mencapai keberhasilan yang lain. Tingkatan itulah yang harusnya dimiliki Indonesia dalam menjadikan keilmuan yang hasilnya lebih-lebih diutamakan untuk kepentingan sosial.
Transisi Demografi itu akan menunjukkan kemajuan pada bidang ketenagakerjaan secara industri, tapi tidak dalam bidang yang lain. Salah satunya adalah pendidikan, seperti yang pernah diutarakan oleh C.P Blacker, dalam literaturnya mengatakan jika keadaan suatu bangsa tidak relevan maka yang akan terjadi adalah perang, kelaparan, dan rasisme di mana-mana. Sepertinya itulah yang menjadikan permasalahan, dan tingkatakan paling akhir kembali pada modernitas dalam ranah demografi jika dikhususkan pada permasalahan ini. Tapi, tetaplah di mana ada “sebab” maka pasti ada “akibat”. Masyarakat harus mengikuti alur modernitas sebagai kemajuan pola pikir. Kehendak yang “dalam” dari sekian waktu telah menjadikan “modernitas” sebagai kesalahan. Tetaplah menurut seperti maksud C.P Blacker yang menyinggung keadaan penduduk tetap berujung pada “sosial” yang akan difleksibilitaskan.
Potensi umur 15-60 tahun itu adalah identitas biasa, yang harusnya dipikirkan bagaimana merumuskan umur potensial di bawah dan di atas itu tadi. Apakah bisa merumuskan hipotesis yang hanya perlu subjektifitas didalamnya. Setiap fakta peluang itu ada selama transisi menuju demografi modern, yang mencangkup keadaan sosial dan individu berjalan bersama, melalui individualitas pola pikir untuk merancang kesuksesan. Bonus demografi memberikan ruang lebih kepada “kita”, namun yang terjadi kehendak bonus demografi tadi memunculkan revolusi produksi negatif, yaitu “pengangguran”.
Mendekontruksi secara radikal dalam posisi masyarakat secara manual dan menciptakan peluang secara kreatif adalah pandangan bagaimana penduduk telah mencapai batas maksimal. C.P Blacker dalam teori transisi menyampaikan bawah dalam sebuah negara yang sudah mengalami “urbanisasi” akan juga mengalami perubahan besar dalam bidang industri, dan ini sudah terjadi dalam sebagian negara barat (Eropa). Fleksibilitas sosial terkadang menjadikan masyarakat sebagai “induk” rasionalitas sebagai bidang yang siap untuk mengorbankan irasionalitas. Masyarakat produksi-lah yang memanipulasi konsumen agar menjadikan keadaan sebagai pekerjaan, pendidikan, hasil. Sebagai usaha yang besar mendekontruksi bidang-bidang yang “vital” seperti pendidikan dan seni adalah usaha yang benar untuk menjadikan intelektual yang tinggi. Untuk menuju kemakmuran melawan kapitalisme, persoalan itu akan menyangkut ketenagakerjaan yang “mustahil” didapat secara “adil” oleh masyarakat Indonesia secara umum.
Negara yang sudah mengalami proses industri dan urbanisasi secara besar-besaran, akan direduksi pada bagian produksi moral dan Indonesia sedang mengalami proses industri tadi, belum “sudah”, dan sudah mengalami proses urbanisasi walaupun tidak menyeluruh. Keadaan menurut Blacker ini bisa diumpamakan keadaan yang dinamis, esensinya lebih kepada yang berhasil dan kita telah ingin mengusahakannya. Menurut Blacker, keadaan itu sangat bisa terjadi pada bangsa berkembang seperti Indonesia. Jika percaya akan itu, setelah “kemerdekaan” seharusnya bangsa ini tidak mengalami masalah seperti sekarang. Setelah reformasi struktur-struktur dinamis mengatakan keadaan adalah segalanya sama dengan tranferensi di semua bidang. Akan halnya ketika disetiap sudut perjalanan yang dilalui telah diperhitungkan dalam bentuk lain, makna sebuah kemerdekaan hanya stuktur simbol yang tersimpan. Didalamnya berbagai sudut permasalahan lain juga teramat terlewatkan, akibatnya tranferensi ini menuju “masa depan” tertinggal jauh.
Segala hal tidak dapat diberlakukan sama, bonus Demografi belum siap atau kita belum siap akan bonus demografi tersebut. Keadaan yang ironis ketika tidak diimbangi oleh keadaan intelektual masyarakat, terlebih nilai fundamental itu benar jika dikaitkan dengan “sosial” masyarakat. Masyarakat mewakili penduduk, sosial mewakli keadaan, dan merampingkan dengan se-fleksibel mungkin terhadap keadaan itu adalah kuncinya. Di samping itu stuktur makna dalam “sosial” tidak akan terhambat jika pada perjalanannya, hubungan sosial dalam masyarakat selalu “intensif”. Seperti pada pola stuktur berikut, yang mengaitkan jalan menuju “ideal” demografi modern.

             PENDUDUK/MASYARAKAT



     KEADAAN SOSIAL



                                                 Pendidikan    Pekerjaan      Hasil
                                               
                                     

                                                   Kemajuan / Kemunduran


    Mendapatkan bonus Demografi                                   Mengalami kegagalan Revolusi



                                 Kreatifitas yang fleksibel (sosial)                    ?
         


     Positif (kemajuan)                  Mencapai fleksibilitas sosial
         
          Pola di atas merekontruksi solusi jika sebuah bangsa yang ingin mendapatkan bonus demografi adalah bangsa yang harus siap melalui pola pikir yang “ideal” Indonesia belumsiap. Keadaan sosial menyalurkan ke dalam “pendidikan”, sehingga mendapatkan “pekerjaan” dan dari itu menghasilkan “penghasilan”, dan mereduksi “kemajuan” atau sebaliknya “kemunduran”. Solusi itu mengedepankan pola tersusun yang tidak sewena-wena membagi penghasilan hanya untuk “diri-nya sendiri”, dan kita mengalami sistem kapitalis yang ujungnya sangat mereduksi tingkatan kehidupan. Juga mengubah segala hal dimana produksi kemanusiaan lebih terhindarkan dari sebelumnya, jika tidak direduksi secara tepat maka gejala yang akan datang yaitu munculnya revolusi demografi yang mencangkup “sosial”. Tahap mengerti tadi harus diseimbangkan ke dalam fenomena modernitas secara khusus.
          Ideal dalam sistem selanjutnya kembali kepada bagaimana tingkat “kreatif” kita agar menjadi lebih terbangun secara esensi dan nilai fundamental. Karl Marx mengatakan bahwa daya produktif luar biasa dari kapitalisme membangkitkan kemungkinan untuk perkembangan manusia dikemudian hari, hal mana tidak akan mungkin terjadi di bawah bentuk-bentuk sistem produksi yang sebelumnya” (Giddens, 2009:15). Pendapat Karl Marx tersebut mengisyaratkan jika pada kesempatan yang tak terduga sebuah komoditas akan hancur dan sejarah akan mengulang peradaban baru, ke dalam sebuah sistem produksi manusia secara keseluruhan yang berkaitan dengan permasalahan penduduk Indonesia.
          Tingkatan produksi dengan keidealan masyarakat menghadapi modernitas masih terkekang dalam hal yang ambigu dan itu dapat diatasi dengan cara kreatif. Sama dengan para pelaku seniman yang tidak akan merasakan kemusnahan dalam kaitannya dengan produksi, hanya ada kegembiraan melakukan itu. Tingkatan dimensi selanjutnya adalah kemurnian khusus untuk mengedepankan moralitas, etika, serta memproduksi pikiran kearah ideal. Mengarahkan keadaan sosial masyarakat agar  menjadikannya berfikir kritis memang terdapat pada kesimpulan lain. Pekerjaan akan memengaruhi pendidikan secara khusus dan akan merumuskan keadaan di mana pola sosial itu tidak berjalan di tempat. Secara esensi masyarakat harus mengendalikan pola berfikirnya agar sistem yang ambigu akan berkurang ke ruang ideal tadi. Secara kritis masyarakat tidak berhak mengganggu “pemerintah” yang kaitannya hanya merumuskan hipotesis secara umum, keadaan tidak memikirkan itu semua. Ruang kreatif yang imajinatif adalah kunci, kecenderungan itu yang tidak dimiliki oleh masyarakat Indonesia, dan mengarahkan kepada bonus demografi tidak tepat untuk menyajikannya secara literatur yang ilmiah.
          Bonus demografi hanyalah titik, dan kita harusnya mencari jalan menuju titik itu. Bukan revolusi atau ketidaksanggupan yang kita alami dengan “bonus demografi”.Tapi kesiapan serta kematangan pola pikir untuk penduduk, serta melaksanakan tugasnya ke dalam produksi (tenaga kerja). Kemakmuran penduduk suatu negara tergantung dari batas suatu negara dan masyarakatnya yang mengerti dan memahami “modernitas” yang utuh. Transisi fleksibilitas mengubah bahkan mensejajarkan tingkatan sosial suatu bangsa, sehingga fleksibilitas terhadap “keadaan sosial penduduk” harus berjalan.



0 komentar:

Posting Komentar