TRANSISI
DEMOGRAFI MODERN TERHADAP
FLEKSIBILITAS
SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
Oleh Bangkit W Prayogo
Peradaban
menghasilkan sejarah yang “menarik” untuk
diamati, dan waktu erat kaitannya
dengan perubahan dunia yang semakin menuju pada pengaruh kehidupan sosial yang rumit. Perubahan itu,
telah diprediksi sebagai gejala yang muncul semenjak awal abad 20, dengan pengkajian
yang lebih rumit lagi, misal,
kemajuan dibidang industri
yang secara tidak langsung mereduksi pola dan hubungan tingkat sosial pada tiap
negara. Karl Marx (dalam Giddens, 2009:12) menyebutkan bahwa “pencuri, penipu,
pengemis, penganggur, orang kelaparan, orang sengsara dan orang yang bekerja dikalangan
kejahatan, semuanya ini adalah bentuk-bentuk yang tidak ada bagi ekonomi
politik”. Secara ambigu, Marx telah
mengatakan jika dalam perdebatan menuju dunia modern hal yang paling utama
adalah bagaimana hidup dengan sejahtera. Tanpa memikirkan permasalahan yang
menuntut “agama”,
dan manusia terkungkung dalam permasalahan itu.
Keadaan dinamis
secara tolak ukur dapat dipastikan terjadi dalam perkembangan bangsa Indonesia
sejak reformasi 1998, dan induknya jauh sebelum masa itu, yakni ketika tahun
setelah pemusnahan PKI 1965. Studi
dan pola industri turut merasakan
dampaknya, dan secara tidak langsung menyebabkan pengaruh tentang kependudukan
yang pergerakannya makin mengkhawatirkan. Pasca reformasi, permasalahan
“kependudukan” sangat tidak terkendali. Progresivitas perkembangannya tidak
diimbangi dengan fungsi-fungsi kultural yang dapat menampung desakan aspek
kepentingan masyarakat, khususnya pola pikir. Sebagai contoh pada ranah
pendidikan yang kurang dapat dipahami sebagai salah satu pembentuk mental
kesadaran masyarakat. Hasilnya tahapan menajemen pada hampir setiap sektor
mengalami stagnasi, dan yang selamat harus siap sedia berperan serta menjadi
individu yang kapitalis.
Dunia modern
adalah sebab ketika semua dipengaruhi hidup kapitalis, secara implisit memang
begitu adanya. Hal yang tidak luput adalah permasalahan di mana penduduk atau
masyarakat tidak terlalu produktif diberbagai bidang. Indonesia telah tertinggal
sebagai negara berkembang yang pasif, yang selalu mereduksi bidang-bidang
sebagai tolak ukur tetap. Di
ruang yang terbuka pada setiap zaman
modern kenyataan adalah
“takdir” bagaimana menyelaraskan
antara konsep dan
kenyataan untuk dipertimbangkan lagi.
Setelah budaya modern yang agak memaksa itu, tiba persoalan tidak
hanya menyelaraskan
pada “takdir” tapi lebih kepada “tantangan”.
Kehadiran banyaknya kajian yang
tidak
relevan juga menyebabkan permasalahan
tidak dapat dihentikan.
Dampak dari tantangan
itu tidak lebih
melibatkan ruang sosial, dalam tahap
ini mulai dari “revolusi Eropa” awal abad 20 dan “reformasi Indonesia 1998” adalah
sedikit dampak budaya modern, sehingga tidak
ada tingkatan “ada”. Sosial akhirnya yang mendukung berakhirnya masa di mana
setiap masyarakat Indonesia mendapatkan kelayakan hidup, meskipun perlu dicatat bahwa kelayakan
itu sendiri bertolak ukur pada masa lalu. Kenyataan
ini adalah bagian
dari Demografi Modern.
Demografi
modern menuntut kehadiran
permasalahan yang lebih luas, artinya kesinambungan antara permasalahan penduduk
tidak akan lepas
dari permasalahan sosial.
Pengaruh
sosial memang akan
merubah pandangan bahwa sesuatu yang lebih buruk
akan terjadi seterusnya.
Dengan adanya permasalahan
seperti itu perlu adanya rasa
“sadar” dalam hal
ini dengan kaitannya
terhadap negara Indonesia. Situasi setelah “reformasi” adalah esensi, terkadang
juga menjadi langkah melupakan
dampak setelahnya. Bonus demografi hanyalah rupa dalam arti
harapan jika memang dikaitkan
dengan Indonesia. Dalam bidang apapun masyarakat
belum siap menerima
budaya modernitas, sebab yang paling inti
adalah komoditas pasar dan ketenagakerjaan
yang luput dari
sasaran dan tidak berjalan
sesuai harapan. Transisi
kebudayaan dalam demografi modern erat kaitan dengan permasalahan
sosial “dampak”. Sebuah transisi itu
akan melibatkan berbagai
bidang secara esensi yang
telah
dikaitkan dengan sumber perdagangan
bebas (kapitalisme).
Semua berawal dari
akar “sosial” yang akan memengaruhi situasi setelahnya (transisi).
Transisi menuju ke dalam bonus demografi
tidak akan lepas pada keadaan industri dan
keadaan sosial masyarakat. Kita, selaku bagian masyarakat, setidaknya memberangkatkan diri ke dalam konsep “perdagangan” untuk suatu hasil yang akan menjadi pijakan
selanjutnya. Sebab, permasalahannya terletak belum mampunya suatu perubahan pada
ketenagakerjaan sebagai nilai (upah) yang rendah. Terdapat kesenjangan yang mendalam, setelah reformasi 1998 peluang-peluang kerja masyarakat juga tidak diimbangi
dengan pertumbuhan masyarakat yang untuk kesekian kali mencetak masyarakat
menjadi penganggur.
Bentuk esensinya mengedepankan masyarakat sebagai budaya, ketika menuju ke hal itu bagaimana
mensejahterakan, dan bagaimana menuju peluang yang lebih indah setelahnya.
Bangsa ini termasuk bangsa berkembang, dan ketika berbicara bonus demografi
agaknya menjadi tugas yang harus dipikul bersama.
Jumlah
manual produksi masyarakat juga dinilai kurang mampu menghadapi
kelayakan dunia modern, sebab kepentingannya
masih terperangkap pada kemustahilan. Tingkatan
yang menarik lebihberbicara daya atau potensi, yaitu
rentan umur 15-60 yang memang
menjadi umur aktif untuk memajukan pendapatan sebuah bangsa. Tetapi ini tidak terjadi di Indonesia, sebab paradigma fungsi dan realita
kongkritnya justru menciptakan kesenjangan menuju pendidikan dan pola sosial yang
salah.
Sejak reformasi,
penduduk Indonesia lebih cenderung berjalan di tempat, dan angka pertumbuhan
penduduk semakin menggila, tidak diidealkan dengan perkembangan intelektualitas masyarakat menuju modernitas. Pasar bebas menuntut itu, manusia adalah mesin yang harus
mengakui jika permasalahan modern mencangkup permasalahan intelektual tinggi,
daya jual sebagai bentuk yang pasif itu tidak akan dilihat dengan mata sebagai “pengusaha”.
Bonus demografi memelihara nilai fundamental untuk menjadikannya sebuah “harapan”, meski bentuknya masih terselubung. Oleh sebab itu, setiap
manusia Indonesia haruslah menjadi manusia individu dan mengedepankan “produksi tunggal” sebagai kesuksesan. Individualitas tersebut, ketika menjadi pengusaha tidak akan berpikir tentang kekayaan sendiri. Justru
fleksibilitas sosial yang hendak dicapai akan tercipta ketika berbicara “produksi”. Manusia yang
mengedepankan struktur kerja sama akan menjadi bernilai kedepannya. Bukan selalu
mengajak menjatuhkan jumlah produksi itu sendiri. Esensinya lebih kepada bagaimana mencairkan dan
menunjukkan pola-pola keindahan tadi, saling menghilangkan konsep-konsep kapitalis adalah kuncinya.
Produksi tidak akan tercapai jika masih mengharapkan kapitalisme sebagai induk
kesejahteraan bangsa. Sejarah mencatat bagaimana kapitalisme seluruhnya menjadi
penyebab hilangnya moralitas sesama manusia. Seperti saat Karl Marx menyuguhkan sebentuk ironilitas
yang agung kepada manusia tentang optimalisasi masyarakat terhadap dunia modern. Di satu sisi, Eropa berhasil mengatasi, dan negara-negara berkembang
seperti Indonesia mengalami permasalahan akan hal ini. Solusinya lebih kepada
bagaimana ironilitas itu disejajarkan kepada konsep fleksibilitas terhadap
kenyataan sosial, dan perannya akan berkaitan langsung kepada keadaan sosial bangsa
yang sangat kompleks bentuknya, mulai bentuk dari ranah kecil sampai besar.
Transisi
modern yang fleksibel menjadikan potensi-potensi masyarakat yang berumur 15-60
sebagai masa aktif kerja ke dalam esensi kerja yang efektif, seperti bekerja wirausaha dan bertani yang telah ditinggalkan. Sehingga persaingan individu tidak tampak terlalu
emosional terjadi, rentan 15-60 tahun dalam siklus perkembangan akan menjadi
penting ketika rentang tersebut juga distimuluskan dengan pola intelektual
tinggi bernama “pendidikan karakter”.
Hal yang
lebih mengerucut lagi adalah bagaimana menyediakan tempat, keadaan, siklus
sosial, dan wadah yang berhasil sebelum mencapai keberhasilan yang lain. Tingkatan itulah yang harusnya dimiliki Indonesia dalam menjadikan keilmuan yang
hasilnya lebih-lebih diutamakan untuk kepentingan sosial.
Transisi Demografi itu akan
menunjukkan kemajuan pada bidang ketenagakerjaan secara industri, tapi tidak dalam bidang yang lain. Salah satunya adalah pendidikan, seperti
yang pernah diutarakan oleh C.P Blacker, dalam literaturnya mengatakan jika
keadaan suatu bangsa tidak relevan maka yang akan terjadi adalah perang, kelaparan,
dan rasisme di mana-mana. Sepertinya
itulah yang menjadikan permasalahan, dan tingkatakan paling akhir kembali pada
modernitas dalam ranah demografi jika dikhususkan pada permasalahan ini. Tapi, tetaplah di mana ada “sebab” maka pasti ada “akibat”. Masyarakat harus
mengikuti alur modernitas sebagai kemajuan pola pikir. Kehendak yang “dalam” dari sekian waktu telah menjadikan “modernitas” sebagai kesalahan. Tetaplah menurut seperti maksud C.P Blacker yang
menyinggung keadaan penduduk tetap berujung pada “sosial” yang akan difleksibilitaskan.
Potensi umur
15-60 tahun itu adalah identitas biasa, yang harusnya dipikirkan bagaimana
merumuskan umur potensial di bawah dan di atas itu tadi. Apakah bisa merumuskan hipotesis yang hanya perlu subjektifitas didalamnya. Setiap fakta peluang itu ada selama transisi menuju demografi modern, yang mencangkup keadaan sosial dan individu berjalan bersama, melalui
individualitas pola pikir untuk merancang kesuksesan. Bonus demografi
memberikan ruang lebih kepada “kita”, namun yang terjadi kehendak bonus demografi
tadi memunculkan revolusi produksi negatif, yaitu “pengangguran”.
Mendekontruksi
secara radikal dalam posisi masyarakat secara manual dan menciptakan peluang secara kreatif adalah pandangan
bagaimana penduduk telah mencapai batas maksimal. C.P Blacker dalam “teori transisi” menyampaikan bawah dalam sebuah negara yang sudah mengalami “urbanisasi” akan juga mengalami perubahan besar dalam bidang industri, dan ini sudah terjadi dalam sebagian negara barat (Eropa).
Fleksibilitas sosial terkadang menjadikan masyarakat sebagai “induk” rasionalitas sebagai bidang yang siap untuk mengorbankan irasionalitas. Masyarakat produksi-lah yang memanipulasi konsumen agar menjadikan keadaan sebagai pekerjaan, pendidikan, hasil. Sebagai usaha yang besar mendekontruksi bidang-bidang yang “vital” seperti pendidikan dan seni adalah usaha yang benar untuk menjadikan intelektual yang tinggi. Untuk menuju kemakmuran melawan kapitalisme, persoalan itu akan menyangkut ketenagakerjaan yang “mustahil” didapat secara “adil” oleh masyarakat Indonesia secara umum.
Negara
yang sudah mengalami proses industri
dan urbanisasi secara besar-besaran, akan
direduksi pada bagian produksi
moral dan Indonesia sedang mengalami proses industri tadi, belum “sudah”,
dan sudah mengalami proses urbanisasi walaupun tidak menyeluruh. Keadaan menurut Blacker
ini bisa diumpamakan keadaan yang dinamis, esensinya lebih kepada yang berhasil
dan kita telah ingin mengusahakannya.
Menurut Blacker, keadaan
itu sangat bisa terjadi pada bangsa berkembang seperti Indonesia. Jika percaya akan itu,
setelah “kemerdekaan” seharusnya bangsa ini tidak mengalami masalah seperti
sekarang. Setelah reformasi struktur-struktur dinamis mengatakan keadaan adalah
segalanya sama dengan tranferensi
di semua
bidang. Akan halnya ketika disetiap sudut
perjalanan yang dilalui telah diperhitungkan dalam
bentuk lain, makna sebuah
kemerdekaan hanya stuktur simbol yang
tersimpan. Didalamnya berbagai
sudut permasalahan lain
juga teramat terlewatkan,
akibatnya tranferensi
ini menuju “masa depan”
tertinggal jauh.
Segala hal tidak dapat diberlakukan sama, bonus
Demografi belum siap atau kita belum siap akan bonus demografi tersebut. Keadaan yang ironis ketika tidak diimbangi oleh keadaan intelektual masyarakat, terlebih nilai fundamental itu benar jika dikaitkan dengan “sosial” masyarakat. Masyarakat mewakili penduduk, sosial mewakli keadaan,
dan merampingkan dengan se-fleksibel mungkin terhadap keadaan itu adalah
kuncinya. Di samping itu stuktur makna dalam “sosial” tidak akan terhambat jika pada perjalanannya, hubungan sosial dalam masyarakat selalu “intensif”. Seperti pada pola stuktur berikut, yang mengaitkan jalan menuju “ideal” demografi modern.
Pendidikan
Pekerjaan Hasil



Kreatifitas yang fleksibel (sosial) ?
Positif (kemajuan) Mencapai fleksibilitas sosial
Pola di atas merekontruksi solusi jika sebuah
bangsa yang ingin mendapatkan bonus demografi adalah bangsa yang harus siap
melalui pola pikir yang “ideal” Indonesia
belumsiap. Keadaan sosial menyalurkan ke dalam “pendidikan”,
sehingga mendapatkan “pekerjaan” dan dari itu menghasilkan “penghasilan”, dan mereduksi
“kemajuan” atau sebaliknya “kemunduran”. Solusi itu mengedepankan pola tersusun
yang tidak sewena-wena membagi penghasilan hanya untuk “diri-nya sendiri”, dan
kita mengalami sistem kapitalis yang ujungnya sangat mereduksi tingkatan
kehidupan. Juga
mengubah segala hal dimana produksi kemanusiaan lebih terhindarkan dari sebelumnya,
jika tidak direduksi secara tepat maka gejala yang akan datang yaitu munculnya
revolusi demografi yang mencangkup “sosial”. Tahap mengerti tadi harus
diseimbangkan ke dalam fenomena modernitas secara khusus.
Ideal
dalam sistem
selanjutnya kembali kepada bagaimana tingkat “kreatif” kita agar
menjadi lebih terbangun secara esensi dan nilai fundamental. Karl Marx mengatakan
bahwa daya produktif luar biasa dari kapitalisme membangkitkan kemungkinan untuk
perkembangan manusia dikemudian hari, hal mana tidak akan mungkin terjadi di
bawah bentuk-bentuk sistem produksi yang sebelumnya” (Giddens, 2009:15). Pendapat
Karl Marx tersebut mengisyaratkan jika pada kesempatan yang tak terduga sebuah
komoditas akan hancur dan sejarah akan mengulang peradaban baru, ke dalam sebuah sistem
produksi manusia secara keseluruhan yang
berkaitan
dengan permasalahan penduduk
Indonesia.
Tingkatan
produksi dengan keidealan masyarakat menghadapi modernitas masih terkekang dalam
hal yang ambigu dan itu dapat diatasi dengan cara kreatif. Sama dengan para
pelaku seniman yang tidak akan merasakan kemusnahan dalam kaitannya dengan
produksi, hanya ada kegembiraan melakukan itu. Tingkatan dimensi selanjutnya adalah kemurnian khusus
untuk mengedepankan moralitas, etika, serta memproduksi pikiran kearah ideal. Mengarahkan keadaan sosial masyarakat agar menjadikannya berfikir kritis memang terdapat
pada kesimpulan lain. Pekerjaan akan memengaruhi pendidikan
secara khusus dan
akan merumuskan keadaan
di mana pola
sosial itu tidak
berjalan di tempat. Secara esensi
masyarakat harus mengendalikan pola
berfikirnya agar sistem yang ambigu
akan berkurang ke
ruang ideal tadi. Secara kritis masyarakat tidak
berhak mengganggu “pemerintah” yang kaitannya hanya merumuskan hipotesis
secara umum, keadaan tidak
memikirkan itu semua. Ruang
kreatif yang imajinatif adalah kunci, kecenderungan itu yang tidak
dimiliki oleh masyarakat Indonesia, dan mengarahkan kepada bonus demografi tidak tepat untuk
menyajikannya secara literatur yang ilmiah.
Bonus demografi
hanyalah titik, dan kita harusnya mencari jalan menuju titik itu. Bukan revolusi
atau ketidaksanggupan yang kita alami dengan “bonus demografi”.Tapi kesiapan serta
kematangan pola pikir untuk penduduk, serta melaksanakan tugasnya ke dalam
produksi (tenaga kerja). Kemakmuran
penduduk suatu negara tergantung dari batas suatu negara dan masyarakatnya yang mengerti dan memahami “modernitas”
yang utuh. Transisi
fleksibilitas mengubah bahkan mensejajarkan tingkatan
sosial suatu bangsa, sehingga fleksibilitas terhadap “keadaan sosial penduduk” harus berjalan.
0 komentar:
Posting Komentar