Uranium
Puing-puing darah luntur memakan sisa daging awan yang mendung, dan
langit-langit runtuh menurunkan ujung pedang bernanah dari seberang jembatan
sorga. Sedang kelopak-kelopak mata anak-anak hancur, melebur, tersusun bagai
butir pasir panas yang dipanggang dengan api membara, dan udara-udara pengab,
tak bisa bernafas sebab darah-darah meluncur dari atas sebuah roket. Menghujam,
melumat, menendang paru-paru tak bernyawa dengan sebilah panah dan pedang yang
turun di seberang hati. Itukah kehendak mimpi dari secuil harapan senyum lirih
milik kita sendiri?
Pohon memohon, budak-budak terlempar dari sarangnya sendiri. Sebab
beribu-ribu perempuan mulai berjalan telanjang, dengan tangan-tangan memikul
tanah, dari sebuah gedung tua yang tak bernyawa. Dan lihatlah burung gagak
melumat daging anaknya, memakannya, menciumnya dengan sebongkah hati busuk
milik cairan bumi. bumi yang kelak akan murka melihat tangan-tangan tergeletak
di atas sungai, sampai cairan darah membusuk bagai kembang api di tiap tahun
baru. Pernahkah bumi melihat senja turun dengan seribu malaikat tanpa kepala
dan badannya? Anak-anak sedang turun dari jembatan yang indah, melewati kokok
ayam milik dirinya, memangkul boneka dan robot-robot tak berhenti-henti
tersenyum.
Dan uranium enggan untuk memajang sebuah lukisan darah dengan kepala yang
terbelah dua, sebab roket-roket meluncur menembus awan dan udara dari segala
arah air mata. Kuning dan abu-abu angin ini duduk bersebelahan sedang bertarung
dengan cakar-cakar tuhan yang tumpul. Dan berharap jika surya datang melihat
matanya, maka datanglah kehangusan, datanglah gumpalan daging rusa yang polos
berbusa.
Sehingga sejenak memandang ranting-ranting pohon berguguran dari seberang
jembatan rapuh yang duduk dan sendiri. Sehingga buah-buah yang terbang mengangkasa
akan rapuh, akan duduk terselubung mencium dataran tandus, gersang dan ingin
berucap semesta alam yang hilang.
Haraplah kau pahami jika sayap kelelawar hitam turut berpesta menghujam
kening-kening anak kecil di ujung gedung, di ujung hati dan sebuah kumis
tergulung sunyi nan merdu, sebab hati pun lelah untuk bertarung dengan dua
belas tembakan pistol yang datang dari awan mendung yang hitam. Kalian tau,
luka dan duka yang berdebu akan terbang bagai atom-atom berhembus melewati
udara tandus dan berharap jika api turun menyertai gemuruh teriakan
penghabisan, menyerah, menahan pilu yang mesra.
Bangkit Prayogo
0 komentar:
Posting Komentar