Senin, 08 Juni 2015

Bahasa bukanlah dewa



Bahasa bukanlah dewa
      Masyarakat Lumpur, Bahasa bukanlah dewa, anggap saja itu sebuah kesimpulan dengan memposisikan diri sebagai pengamat yang tidak ingin diamati. Bisa saja anggapan itu hanyalah sebuah wacana deskriminasi yang akan disimpulkan sebagai buah wacana yang gagal, atau juga sebaliknya yang gagal adalah yang berhasil. Pada permukaan inilah bahasa mempunyai nilai peran oposisi sebagai teks yang tidak ingin gagal. Bahasa selalu saja memasuki ruang-ruang dimana kesan tanpa makna “sebab” dan “akibat” selalu muncul. Dengan menganut sistem atau konsep Jaques Derrida, makna bukanlah dewa. Maka dapat dianalogikan juga jika bahasa bukanlah dewa.
Jika kita berangkatkan pada konsep Scorates, maka dalam makna, bahasa tidaklah berhasil mecapai tujuannya masing-masing. Kejelasan dan ruang-ruang dimana totaliter yang menyangkut gejal-gejala tidak harus diungkapkan secara langsung, bahasa sekali lagi bukanlah dewa. Dalam daya ingat, dan dimensi tertutup, bahasa cenderung menutupi makna-makna yang jika di angkat maka makna itulah kelemahan bahasa. Sehingga memunculkan doktrin-doktrin fundamental. Anggapan yang juga salah jika bahasa adalah dewa, jika mengaitkannya pada cabang-cabang ilmu Linguistik.
Daya dimensi yang kosong tadi mengangkat bahasa dalam ruang imajinasi tingkat tinggi. Dalam kaitannya dengan otak Manusia, maka bahasa merasa berhasil mereduksi tingkatan totalitas makna tadi. Situasi tersebut menandakan jika makna dan kejadian dalam bahasa ialah ruang-ruang yang dianggap oleh Manusia sebagi titik abstrak. Padahal ruang-ruang abstrak tersebut hanyalah buatan yang ingin dibuat-buat oleh “Manusia” untuk di jadikan objek yang tidak berhasil.
Tingkatan inilah yang akhirnya mengendalikan dimensi-dimensi bahasa yang juga akhirnya bisa dikatakan sebagai budaya teks, filsafat. Seandainya Ferdinand desaussure bisa mengenali apa itu bahasa, mungkin dalam konsepnya dia tidak mendewakan bahasa sebagai dimensi selayaknya dewa. Dengan keberadaan-keberadaan semacam ini, memunculkan faktor-faktor genetik yang kaitannya terhadap masa lampau.
Adanya masa lampau yang semacam itu, memunculkan anggapan jika bahasa sudah terlanjur mencapai titik ke-emasan atau titik kejayaan. Dalam ruang itulah akhirnya bahasa akan dikenang, dan selanjutnya berhasil mencapai titik dewa. Kegagalan masa lampau itulah yang akhirnya mencapai dimensi dimana bahasa terasa bisa menjajah otak-otak Manusia, melalui sebuah harapan, cinta, sayang, sakit, dan perubahan. Dengan hal semacam ini, akhirnya Derrida bisa melampaui kemakmuran bahasa dan menertawakannya, Derrida mempunyai pisau fenomenologi yang menurutnya melampaui bahasa dan makna.
Bangkit Prayogo, Masyarakat Lumpur, Majalah Indeks edisi ke-10

Minggu, 07 Juni 2015

Hilangnya Sejarah



Hilangnya Sejarah
      Masyarakat Lumpur, Peradapan sebelum adanya Manusia hanyalah bagian-bagian berupa alam semesta. Kecenderungan mewujudkan situasi yang di luar akal dan nilai-nilai yang tidak jelas tergambar dengan nyata, melalui kesadaran. Bersama dengan berjalannya waktu, sebuah peradaban memulai kajian-kajian berupa benda-benda dan kehidupan bernama evolusi. Melalui kekuatan sang-alam yang tetap sangat berpengaruh dengan kekuatan-kekuatan di batas akal.
Terwujudnya Manusia diyakini telah akan terjadi saat alam menyatu dengan kekuatan semesta. Dimana tergambar dan terekam keadaan dalam suatu ruang dimensi, dengan berharap jika alam itu sendiri berhubungan pada gejala-gejala di luar akal. Situasi itulah yang memungkinkan Tuhan sebagai otoritas agama untuk menciptakan Manusia dengan caranya. Sejarah yang harus di akui keberadaannya. Pada gejala yang lain, sejarah mulai mencatat bersama waktu untuk pergi mengikuti masa depan, dalam setiap detik, menit, jam, bulan dan tahun. Sejarah ialah anak sang-alam yang telah ditakdirkan untuk tenggelam bersama waktu.
Ketika keadaan waktu bergiliran menelanjangi Manusia dan peradaban, sejarah mengulang lagi retakan-retakan untuk di rekam dalam situasi normal dengan adanya Manusia itu. Sejarah akan menenggelamkan waktu dengan menuntut apa yang dikatakan dengan kebenaran. Sebuah wacana untuk mencari kebenaran dari sang-waktu. Seperti telah diatur jika sejarah menuntut adanya klausalitas dengan mengadakan perjanjian bersama waktu. Dan masa depan menuntut hal-hal tersebut sambil menunggu kebenaran tercapai.
Telah terekam oleh waktu, jika peradaban akan hadir setelah sejarah mencapai batasnya. Pada situasi sekarang, alam semesta dan unsur-unsurnya ingin menunjukkan gejala tersebut melalui sejarah rekaman lalu. Beribu-ribu sebelumnya, melewati dimensi waktu dan mencari keadaan dimana ruang-ruang kosong tampak menelanjanginya. Dimensi dan keadaan Manusia akan tercapai punah suatu saat, sejarah sedang memberikan pengadilan yang adil dengan berbicara pada masa depan dan alam. Itulah rasa kekhawatiran terjadi, melebihi ruang dan waktu.
Sejarah akan hilang, sejarah akan mencari kebenaran dengan menuntut kepada Manusia.  Sang alam semesta justru menunggu keadaan waktu yang adil untuk memusnahkan keberadaan Manusia. Dan sampailah pada keadaan dimana tidak ada lagi kehidupan, keadilan, kebencian, keharuan, kebenaran, kekhawatiran, kecemasan dan sebagainya. Yang ada hanya kekosongan bentuk, tanpa udara, tanpa benda-benda yang menghiasi peradaban. Situasi seperti itu kelak akan terjadi entah kapan. Dan itulah letak dimana sejarah akan hilang, akan mencari letak waktu untuk memulai peradaban baru, mungkin dengan tanpa Manusia sendiri, dan mungkin juga tanpa ada-nya Tuhan untuk menciptakannya.
Bangkit Prayogo, Masyarakat Lumpur, Majalah Indeks edisi ke-9  

Selasa, 02 Juni 2015

Monolog Kota





Ku-terlahir dari bumi dan frgamen
Dari suatu cerita buku nabi

Tidak mengerti senja
Tidak memahami kota
Yang ada
Sebelum aku terlahir
Di ranjang bambu

Dalam buku tua
Yang tersimpan di beranda
Ketika ku-tahu
Dalam perjumpaanku
Dengan kakek itu
Di dalam perut ibuku
Ku letakkan bibir
Dengan suatu jalan
Yang gersang

Seperti setelah 22 tahun
Kejadian itu
Sebuah monolog mata
Terlahir, teringat lamunku
Suatu jalan dengan matahari
Dan pohon tak-bertulang

PERSOALAN INTERPRETASI MAKNA DAN TEKS DALAM KARYA SASTR



Bangkit Prayogo

Gejala yang tidak akan bisa diprediksi dalam persoalan sastra adalah makna. Makna seakan mengekang jalan dan mengembalikan pandangan-pandangan ketika kita membaca suatu karya sastra. Keadaan stagnan atau semacam peleburan ketika kita membaca suatu karya sastra akan tidak pernah terjadi seterusnya, kita hanya akan di bawa pada keadaan bertanya dan terus saja bertanya dengan harapan mempunyai kaidah-kaidah jawaban yang kita anggap benar menurut diri kita sendiri. Dalam keadaan semacam ini, paham tafsir kita dituntut untuk mengedepankan nilai-nilai objektifitas (murni) jika secara tidak langsung dikaitkan dengan karya sastra itu sendiri. Kita bisa katakan fundamental, sebab jika kita kaitkan persoalan makna dalam karya sastra erat kaitannya dengan paham tafsir, namun demikian selanjutnya tafsir itu haruslah dituntut untuk menemukan persoalan dan jawaban yang benar (menurut diri masing-masing). Kejadian, latar, watak, alur, setting dan semacamnya hanyalah usaha untuk mengucilkan tafsir kita agar terjebak dalam teks sastra itu, semua itu terkandung di dalam nilai-nilai abnormal yang secara struktur merupakan usaha memunculkan makna tadi.
Dalam (Albert, 2014:290) Demikian besarnya nilai penting teks dalam wilayah tersebut, memunculkan gagasan untuk mengambil model interpretasi teks sebagai paradigma pengetahuan bagi seluruh fenomena jenis ini, dan kemudian mengaitkan penelitian konteks makna sebagai tugas esensial kepada ilmu humanistik. Jika dalam pandangan Albert interpretasi adalah hal mutlak dalam seluruh cabang ilmu, maka itu juga berlaku dalam sastra secara umum, namun yang menjadi persoalan ialah sastra bukanlah hal yang mudah untuk dianalisis, sastra melebihi humanistik, sastra melebihi pengetahuan-pengetahuan alam dan ilmiah. Jika kita berangkatkan teks sebagai unsur terpenting maka kita akan menjadikan sastra sebagai bahan baca yang murni (teks), pelindung dan berbagai macam usaha kita tidak harus lepas dari persoalan teks tersebut, meskipun secara usaha kita sudah melakukan interpretasi dalam melalukan pemaknaan dalam sebuah karya sastra. Kita akan terjebak dengan persoalan menafsirkan, ketika dalam usaha menafsirkan, pandangan, paradigma, tanda, dan usaha memprediksi usaha itu hanya akan mengucilkan teks tersebut menjadi makna yang lain. Usaha itu akan sia-sia jika tafsir kita hanya mengandalkan usaha subjektifitas dalam ruang dialektika.
Karya sastra juga mengandalkan ruang-ruang fantasi dalam menjadikan objek teks, sehingga teks di dalamnya seakan mewujudkan kesadaran kita untuk terpengaruh selanjutnya. Ruang-ruang itu bisa kita sebut dengan realitas cerita, realitas kenyataan makna, teks, dan unsur yang tersembunyi. Dinamika realitas inilah yang Albert katakan sebagai usaha mewujudkan metodologi teks secara objektif, hal yang akan menjadikan tafsir kita tidak akan lepas dari yang bernama kenyataan teks. Bagaimanapun unsur subjektifitas tidak akan bisa menemukan kenyataan yang bisa dikatakan sebagai catatan dan nilai yang utuh. Sebagai nilai lain, tafsir kita akan bergerak ke-arah yang tidak menentu, atau jangan-jangan kita hanya menafsirkan bagian-bagian kecil dari apa yang ada dalam karya sastra tersebut. Tercapainya makna dan kesesuaian dalam ruang itu terjadi ketika makna dan tafsir bisa sejalan dan bisa dipahami sebagai objek kerja yang tidak mengedepankan doktrin-doktrin dalam ruang imajiner.
Seperti dalam karya sastra prosa karya Umberto Eco FOUCAULT’S PENDULUM, sejenak secara ringkas isi dalam novel ini menceritakan pengalaman-pengalaman sistematis yang penuh dengan kode-kode rahasia, dan teori-teori kontemporer untuk menjelaskan bagaimana ternyata keadaan dan Dunia adalah kenyataan yang penuh rahasia.
Ringkasnya, dalam novel FOUCAULT’S PENDULUM Karya Umberto Eco secara inti menyelaraskan dogma-dogma makna yang sangat kental, dan sulit untuk dipahami. Bisa dikatakan jika menafsirkan makna dalam novel ini hanyalah usaha yang tidak akan berhasil, hanya akan menghasilkan tafsir-tafsir yang mengarah ke dalam ruang non-objektif, seperti dalam kutipan berikut.

“Sejauh ini baru empat, tetapi barangkali sudah cukup untuk seluruh silabus. Jurusan Tetrapyloctomy berfungsi mempersiapkan; tujuannya untuk menanamkan kepekaan terhadap irelevansi. Jurusan penting lainnya adalah Adynata, atau Impossibilia. Kami punya mata pelajaran dalam sintaksis Morse, sejarah pertanian Antartika, sejarah lukisan Pulau Paskah, teknologi pembuatan roda di kerajaan-kerajaan sebelum Colombus, dan fonetik film bisu”

Kutipan data tersebut jika kita pahami secara utuh (detail), maka yang terjadi adalah kebingungan yang bisa dikatakan ambigu. Kebingungan tersebut terbentuk karena usaha kita mencoba menafsirkan (interpretasi) teks secara mentah, dalam artian unsur dan nilai yang fundamental itu kita lupakan. Bentuk tafsiran ketika kita membaca kutipan tersebut hanya sebatas “apa”, kita masih belum bisa mencapai titik metodologis seperti yang dikatakan oleh Albert tadi. Ruang tafsir kita justru semakin membuat kita menyempitkan makna atas realitas yang kita pahami. Bentuk-bentuk itu tercapai hanya untuk kepentingan dasar saja. Bisa dikatakan daya tafsir kita hanya berpijak dalam ruang subjektifitas (untuk menunjukkan kebenaran teks yang benar-benar nyata), kita belum bisa menafsirkan secara objektif, merinci data akan sejarah. Seperti yang dianut oleh Max Weber, nilai Historis tidak akan lepas dari kehidupan Manusia. Hal inilah yang membuat kepercayaan jika interpretasi justru menjadi ruang lemah dalam usaha mencapai makna yang ingin dicari (yang benar-benar nyata). Kenyataan dalam sastra memang tidak akan bisa diukur (universal), namun ke-universalan tersebut hanyalah kajian dalam ruang untuk mencari makna tadi.
                       
“Ya, aku setuju, Barangkali aku seorang positivistik. Sedikit pembedahan kelenjar pineal mungkin bisa mengubah para Templar menjadi Hospitaler; dengan kata lain, orang-orang normal. Perang kadang merusak sirkuit otak.


           
Dalam ranah subjektifitas, kebebasan tafsir dituntut untuk juga menelaah kebenaran paham secara detail, artinya subjektifitas juga sama dengan objektifitas dalam takaran yang berbeda. Takaran itu dipisah dengan takaran-takaran tafsir yang berbeda, dalam kutipan tersebut subjektifitas kita seakan terhenti ketika sudah mencapai kata Hospitaler menjadi asing, sehingga daya tafsir kita juga akan mencapai titik puncak untuk menafsirkannya. Ruang-ruang imajiner kita terkadang terlepas dari ingatan sadar secara individu, konsep-konsep interpretasi tidak bisa dijadikan bahan untuk mencapai permasalahan makna. Jika itu diartikan ke dalam sebuah konsep makna, maka kemunculan teks hanyalah berupa tarikan-tarikan dari daya tafsir pembaca. Apakah kita bisa mengerti dengan daya tafsir yang dikatakan oleh pengarang? Atau oleh teks? Permasalahannya tidaklah semudah itu, teks menjadikan kita objek, seolah-olah teks menjajah kita dalam permasalahn ini. Ketika kutipan di atas kita baca, teks dengan sengaja menyuruh kita untuk menafsirkan dengan jeli apa yang ada dalam diri teks tersebut. Apakah mampu? Saya katakan tidak akan bisa. Daya tafsir kita tidaklah lebih hebat daripada daya tafsir teks itu sendiri, artinya adalah teks muncul atas tafsir kita, dan kita terjebak akan teks yang kita tafsirkan tadi. Makna-makna yang kita sampaikan tidaklah lebih hanya sebatas pengalihan ketidakmampuan kita untuk menafsirkan teks menjadi makna. Realitas ini haruslah diterima sebagai bahan dialektika sendiri. Jika begitu ruang ini tidak akan jauh dengan Hermeneutika.
Secara dasar Hermeneutika adalah masalah tafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun keagamaan (Zaid, 2004:1), apa yang dikatakan oleh Zaid dalam literaturnya itu menunjukkan jika paham Hermeneutika menitikberatkan daya tafsir kepada teks, apapun bentuknya adalah teks. Jika memang itu adanya maka persoalan selanjutnya adalah sejauh mana kita dapat menafsirkan teks tersebut, atau jangan-jangan permsalahan tafsir justru menjadi anti klimaks seperti contoh kutipan tadi. Hanya ada kebingungan untuk menafsirkan ruang dalam teks tersebut. Gadamer yang dianggap menjadi pencetus Hermeneutika modern menitikberatkan daya tafsir teks ke dalam sebuah eksplorasi teks. Ruang mengeksplorasi teks tadi juga tidak akan lepas dari daya tafsir kita terhadap teks, dalam kaitannya dengan makna, maka terjadilah ambiguitas makna yang tidak relevan. Sastra butuh data yang relevan untuk dijadikan bahan yang lebih serius. Permasalahan-permasalahan empiris juga haruslah lebih diamati dengan mengaharap demikian maknanya.

Amparo mengatakan kepadaku bahwa di tempat mereka, kalau bak cuci piring dikosongkan, arusnya yang kecil itu berpusar melawan arah jarum jam, sedangkan di tempatku, berpusar searah jarum jam. Atau barangkali sebaliknya: aku tidak pernah berhasil membuktikan kebenarannya.

Jika realitas teks tidak bisa mencapai makna yang diinginkan maka mengekplorasi teks tersebut adalah jalan lain, mengapa demikian? Sebab jika pada akhirnya kita mengekplorasi makna tersebut maka teks bisa diharapkan menjadi makna yang diinginkan. Bentuk-bentuk metodologis itu hanyalah beberapa catatan penting dalam mengingatkan makna dalam jalur teks secara realitas. Kenyataannya kita tidak bisa lepas akan teks dan makna. Realitasnya dalam kutipan tersebut kita hanya bisa mereduksi teks menjadi makna yang diinginkan, kematian maknalah yang akhirnya terbentuk. Mencapai titik kosong dalam makna, tanpa makna, hilang dengan makna dan selebihnya hanyalah kode-kode seperti yang ditulis Umberto Eco.  
            Sekilas dengan apa yang diutarakan oleh Albert tentang berfikir kritis, menunjukkan jika kritis itu adalah objektifitas, menafsir teks dengan objektif dan mencapai makna yang utuh. Akhirnya nilai-nilai metodologis yang dicapai Albert bisa dikatakan benar dalam sisi klasik. Kembali lagi kita tidak akan bisa lepas akan teks, dalam kutipan tersebut, bahasa, kata, dan secara keseluruhan yaitu teks telah menguasai seluruh daya tafsir kita. Akhirnya ketika kita berdialetika yang terjadi hanyalah bagian-bagian yang putus asa. Ruang fundamental tidak bisa dicapai, dalam kaitannya makna mendeskripsikan gejala yang terus-menerus terjadi selanjutnya. Permasalahn teks dan makna akan dijadikan hal yang realistis. Dalam keadaan dogma yang tidak ambigu serta menjadikan makna itu adalah bagian akhir yang bisa kita capai, mencapai tujuan tafsir yang “ideal” menurut teks tidak akan bisa kita capai, kita hanya bisa mencapai titik-titik dalam tafsir makna dalam karya sastra tersebut.
Dalam hal apapun juga berlaku, musik, tari, drama dan lukis. Tafsir hanya akan merubah keganjilan menuju dalam makna yang tidak nyata, persoalan itu akan kita jadikan media dalam setiap ruang filsafat selanjutnya sebab makna tidak akan lepas dari teks, begitu juga sebaliknya. Jika di ambil secara klausalitas apa yang akan dicapai hanyalah deskripsi makna-makna tersebut, Hermenutika, Semiotika ataupun teori-teori lainnya hasil ketidakmampuan mencapai makna sejati dari teks itu sendiri. Pada akhirnya teks mengatur otak kita untuk menafsirkan makna yang akan dituju, mencegah kita mencapai makna sejati yang berada dalam teks tesebut, dan menjadikan makna se-objektif mungkin sehingga hanya butiran-butiran yang juga akhirnya akan mati dalam kematian makna.

DIKUSI KOMUNITAS MASYARAKAT LUMPUR 27 MEI 2015