Bangkit Prayogo
Gejala yang tidak akan bisa diprediksi
dalam persoalan sastra adalah makna. Makna seakan mengekang jalan dan
mengembalikan pandangan-pandangan ketika kita membaca suatu karya sastra.
Keadaan stagnan atau semacam peleburan ketika kita membaca suatu karya sastra
akan tidak pernah terjadi seterusnya, kita hanya akan di bawa pada keadaan bertanya
dan terus saja bertanya dengan harapan mempunyai kaidah-kaidah jawaban yang
kita anggap benar menurut diri kita sendiri. Dalam keadaan semacam ini, paham
tafsir kita dituntut untuk mengedepankan nilai-nilai objektifitas (murni) jika
secara tidak langsung dikaitkan dengan karya sastra itu sendiri. Kita bisa
katakan fundamental, sebab jika kita kaitkan persoalan makna dalam karya sastra
erat kaitannya dengan paham tafsir, namun demikian selanjutnya tafsir itu
haruslah dituntut untuk menemukan persoalan dan jawaban yang benar (menurut
diri masing-masing). Kejadian, latar, watak, alur, setting dan semacamnya
hanyalah usaha untuk mengucilkan tafsir kita agar terjebak dalam teks sastra
itu, semua itu terkandung di dalam nilai-nilai abnormal yang secara struktur
merupakan usaha memunculkan makna tadi.
Dalam (Albert, 2014:290) Demikian
besarnya nilai penting teks dalam wilayah tersebut, memunculkan gagasan untuk
mengambil model interpretasi teks sebagai paradigma pengetahuan bagi seluruh
fenomena jenis ini, dan kemudian mengaitkan penelitian konteks makna sebagai
tugas esensial kepada ilmu humanistik. Jika dalam pandangan Albert interpretasi
adalah hal mutlak dalam seluruh cabang ilmu, maka itu juga berlaku dalam sastra
secara umum, namun yang menjadi persoalan ialah sastra bukanlah hal yang mudah
untuk dianalisis, sastra melebihi humanistik, sastra melebihi
pengetahuan-pengetahuan alam dan ilmiah. Jika kita berangkatkan teks sebagai
unsur terpenting maka kita akan menjadikan sastra sebagai bahan baca yang murni
(teks), pelindung dan berbagai macam usaha kita tidak harus lepas dari
persoalan teks tersebut, meskipun secara usaha kita sudah melakukan
interpretasi dalam melalukan pemaknaan dalam sebuah karya sastra. Kita akan
terjebak dengan persoalan menafsirkan, ketika dalam usaha menafsirkan,
pandangan, paradigma, tanda, dan usaha memprediksi usaha itu hanya akan
mengucilkan teks tersebut menjadi makna yang lain. Usaha itu akan sia-sia jika
tafsir kita hanya mengandalkan usaha subjektifitas dalam ruang dialektika.
Karya sastra juga mengandalkan
ruang-ruang fantasi dalam menjadikan objek teks, sehingga teks di dalamnya
seakan mewujudkan kesadaran kita untuk terpengaruh selanjutnya. Ruang-ruang itu
bisa kita sebut dengan realitas cerita, realitas kenyataan makna, teks, dan
unsur yang tersembunyi. Dinamika realitas inilah yang Albert katakan sebagai
usaha mewujudkan metodologi teks secara objektif, hal yang akan menjadikan
tafsir kita tidak akan lepas dari yang bernama kenyataan teks. Bagaimanapun
unsur subjektifitas tidak akan bisa menemukan kenyataan yang bisa dikatakan
sebagai catatan dan nilai yang utuh. Sebagai nilai lain, tafsir kita akan
bergerak ke-arah yang tidak menentu, atau jangan-jangan kita hanya menafsirkan
bagian-bagian kecil dari apa yang ada dalam karya sastra tersebut. Tercapainya
makna dan kesesuaian dalam ruang itu terjadi ketika makna dan tafsir bisa
sejalan dan bisa dipahami sebagai objek kerja yang tidak mengedepankan
doktrin-doktrin dalam ruang imajiner.
Seperti dalam karya sastra prosa karya
Umberto Eco FOUCAULT’S PENDULUM, sejenak secara ringkas isi dalam novel ini
menceritakan pengalaman-pengalaman sistematis yang penuh dengan kode-kode
rahasia, dan teori-teori kontemporer untuk menjelaskan bagaimana ternyata
keadaan dan Dunia adalah kenyataan yang penuh rahasia.
Ringkasnya, dalam novel FOUCAULT’S
PENDULUM Karya Umberto Eco secara inti menyelaraskan dogma-dogma makna yang
sangat kental, dan sulit untuk dipahami. Bisa dikatakan jika menafsirkan makna
dalam novel ini hanyalah usaha yang tidak akan berhasil, hanya akan
menghasilkan tafsir-tafsir yang mengarah ke dalam ruang non-objektif, seperti
dalam kutipan berikut.
“Sejauh ini baru empat, tetapi
barangkali sudah cukup untuk seluruh silabus. Jurusan Tetrapyloctomy berfungsi
mempersiapkan; tujuannya untuk menanamkan kepekaan terhadap irelevansi. Jurusan
penting lainnya adalah Adynata, atau Impossibilia. Kami punya mata pelajaran
dalam sintaksis Morse, sejarah pertanian Antartika, sejarah lukisan Pulau
Paskah, teknologi pembuatan roda di kerajaan-kerajaan sebelum Colombus, dan
fonetik film bisu”
Kutipan data tersebut jika kita pahami
secara utuh (detail), maka yang terjadi adalah kebingungan yang bisa dikatakan
ambigu. Kebingungan tersebut terbentuk karena usaha kita mencoba menafsirkan
(interpretasi) teks secara mentah, dalam artian unsur dan nilai yang
fundamental itu kita lupakan. Bentuk tafsiran ketika kita membaca kutipan
tersebut hanya sebatas “apa”, kita masih belum bisa mencapai titik metodologis
seperti yang dikatakan oleh Albert tadi. Ruang tafsir kita justru semakin
membuat kita menyempitkan makna atas realitas yang kita pahami. Bentuk-bentuk
itu tercapai hanya untuk kepentingan dasar saja. Bisa dikatakan daya tafsir
kita hanya berpijak dalam ruang subjektifitas (untuk menunjukkan kebenaran teks
yang benar-benar nyata), kita belum bisa menafsirkan secara objektif, merinci
data akan sejarah. Seperti yang dianut oleh Max Weber, nilai Historis tidak
akan lepas dari kehidupan Manusia. Hal inilah yang membuat kepercayaan jika
interpretasi justru menjadi ruang lemah dalam usaha mencapai makna yang ingin
dicari (yang benar-benar nyata). Kenyataan dalam sastra memang tidak akan bisa
diukur (universal), namun ke-universalan tersebut hanyalah kajian dalam ruang
untuk mencari makna tadi.
“Ya, aku setuju, Barangkali aku
seorang positivistik. Sedikit pembedahan kelenjar pineal mungkin bisa mengubah
para Templar menjadi Hospitaler; dengan kata lain, orang-orang normal. Perang
kadang merusak sirkuit otak.
Dalam ranah subjektifitas, kebebasan
tafsir dituntut untuk juga menelaah kebenaran paham secara detail, artinya
subjektifitas juga sama dengan objektifitas dalam takaran yang berbeda. Takaran
itu dipisah dengan takaran-takaran tafsir yang berbeda, dalam kutipan tersebut
subjektifitas kita seakan terhenti ketika sudah mencapai kata Hospitaler menjadi asing, sehingga daya
tafsir kita juga akan mencapai titik puncak untuk menafsirkannya. Ruang-ruang
imajiner kita terkadang terlepas dari ingatan sadar secara individu,
konsep-konsep interpretasi tidak bisa dijadikan bahan untuk mencapai permasalahan
makna. Jika itu diartikan ke dalam sebuah konsep makna, maka kemunculan teks
hanyalah berupa tarikan-tarikan dari daya tafsir pembaca. Apakah kita bisa
mengerti dengan daya tafsir yang dikatakan oleh pengarang? Atau oleh teks?
Permasalahannya tidaklah semudah itu, teks menjadikan kita objek, seolah-olah
teks menjajah kita dalam permasalahn ini. Ketika kutipan di atas kita baca,
teks dengan sengaja menyuruh kita untuk menafsirkan dengan jeli apa yang ada
dalam diri teks tersebut. Apakah mampu? Saya katakan tidak akan bisa. Daya
tafsir kita tidaklah lebih hebat daripada daya tafsir teks itu sendiri, artinya
adalah teks muncul atas tafsir kita, dan kita terjebak akan teks yang kita
tafsirkan tadi. Makna-makna yang kita sampaikan tidaklah lebih hanya sebatas
pengalihan ketidakmampuan kita untuk menafsirkan teks menjadi makna. Realitas
ini haruslah diterima sebagai bahan dialektika sendiri. Jika begitu ruang ini
tidak akan jauh dengan Hermeneutika.
Secara dasar Hermeneutika adalah masalah
tafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun keagamaan (Zaid,
2004:1), apa yang dikatakan oleh Zaid dalam literaturnya itu menunjukkan jika
paham Hermeneutika menitikberatkan daya tafsir kepada teks, apapun bentuknya
adalah teks. Jika memang itu adanya maka persoalan selanjutnya adalah sejauh
mana kita dapat menafsirkan teks tersebut, atau jangan-jangan permsalahan tafsir
justru menjadi anti klimaks seperti contoh kutipan tadi. Hanya ada kebingungan
untuk menafsirkan ruang dalam teks tersebut. Gadamer yang dianggap menjadi
pencetus Hermeneutika modern menitikberatkan daya tafsir teks ke dalam sebuah
eksplorasi teks. Ruang mengeksplorasi teks tadi juga tidak akan lepas dari daya
tafsir kita terhadap teks, dalam kaitannya dengan makna, maka terjadilah
ambiguitas makna yang tidak relevan. Sastra butuh data yang relevan untuk
dijadikan bahan yang lebih serius. Permasalahan-permasalahan empiris juga
haruslah lebih diamati dengan mengaharap demikian maknanya.
Amparo
mengatakan kepadaku bahwa di tempat mereka, kalau bak cuci piring dikosongkan,
arusnya yang kecil itu berpusar melawan arah jarum jam, sedangkan di tempatku,
berpusar searah jarum jam. Atau barangkali sebaliknya: aku tidak pernah
berhasil membuktikan kebenarannya.
Jika realitas teks tidak bisa mencapai
makna yang diinginkan maka mengekplorasi teks tersebut adalah jalan lain,
mengapa demikian? Sebab jika pada akhirnya kita mengekplorasi makna tersebut
maka teks bisa diharapkan menjadi makna yang diinginkan. Bentuk-bentuk
metodologis itu hanyalah beberapa catatan penting dalam mengingatkan makna
dalam jalur teks secara realitas. Kenyataannya kita tidak bisa lepas akan teks
dan makna. Realitasnya dalam kutipan tersebut kita hanya bisa mereduksi teks
menjadi makna yang diinginkan, kematian maknalah yang akhirnya terbentuk.
Mencapai titik kosong dalam makna, tanpa makna, hilang dengan makna dan
selebihnya hanyalah kode-kode seperti yang ditulis Umberto Eco.
Sekilas dengan apa yang diutarakan
oleh Albert tentang berfikir kritis, menunjukkan jika kritis itu adalah
objektifitas, menafsir teks dengan objektif dan mencapai makna yang utuh.
Akhirnya nilai-nilai metodologis yang dicapai Albert bisa dikatakan benar dalam
sisi klasik. Kembali lagi kita tidak akan bisa lepas akan teks, dalam kutipan
tersebut, bahasa, kata, dan secara keseluruhan yaitu teks telah menguasai
seluruh daya tafsir kita. Akhirnya ketika kita berdialetika yang terjadi
hanyalah bagian-bagian yang putus asa. Ruang fundamental tidak bisa dicapai,
dalam kaitannya makna mendeskripsikan gejala yang terus-menerus terjadi
selanjutnya. Permasalahn teks dan makna akan dijadikan hal yang realistis.
Dalam keadaan dogma yang tidak ambigu serta menjadikan makna itu adalah bagian
akhir yang bisa kita capai, mencapai tujuan tafsir yang “ideal” menurut teks tidak
akan bisa kita capai, kita hanya bisa mencapai titik-titik dalam tafsir makna
dalam karya sastra tersebut.
Dalam hal apapun juga berlaku, musik,
tari, drama dan lukis. Tafsir hanya akan merubah keganjilan menuju dalam makna
yang tidak nyata, persoalan itu akan kita jadikan media dalam setiap ruang
filsafat selanjutnya sebab makna tidak akan lepas dari teks, begitu juga
sebaliknya. Jika di ambil secara klausalitas apa yang akan dicapai hanyalah
deskripsi makna-makna tersebut, Hermenutika, Semiotika ataupun teori-teori
lainnya hasil ketidakmampuan mencapai makna sejati dari teks itu sendiri. Pada
akhirnya teks mengatur otak kita untuk menafsirkan makna yang akan dituju,
mencegah kita mencapai makna sejati yang berada dalam teks tesebut, dan
menjadikan makna se-objektif mungkin sehingga hanya butiran-butiran yang juga
akhirnya akan mati dalam kematian makna.
DIKUSI KOMUNITAS
MASYARAKAT LUMPUR 27 MEI 2015