Minggu, 03 Mei 2015

RASISME



RASISME 

Suatu ketika disaat saya masih duduk dibangku SMA, saya sering mendapatkan keadaan dimana banyaknya rasisme disekolah. Hal apa yang terjadi? Padahal secara esensial kita selalu diajarkan tentang hal-hal bernama budi pekerti, namun kenyataannya selalu berbanding terbalik dengan yang diinginkan. Suatu kenyataan yang membuat diri saya sendiri terheran-heran, dan kenyataan tentang rasisme itu telah mencemarkan nama baik kita sebagai umat manusia, bukan hanya mencangkup kebaikan diri sendiri, terbentuk dari sitem pola sadar diri kita sendiri.
Kenyataan memang sulit untuk dipahami, memang benar, tapi kenyataan seperti apa? Apakah rasisme merupakan kenyataan yang sulit dipahami? Jika memang sulit dipahami buat apa rasisme kita pertentangkan dengan nilai-nilai budi pekerti. Sejak dahulu, sejak zaman Adam, sampai dengan perang Dunia 1-2 permasalahan rasisme tetap tidak bisa terhindarkan. Bukankah itu sebuah masalah? Atau memang kenyataan yang harus buru-buru kita terima jika manusia adalah mahkluk yang secara harfiah memang suka membeda-bedakan sesamanya. 
Sejarah tidak bisa kita pungkiri, dan umat manusia menjadikan alasan sebagai pola ukur yang dibedakan. Esensi terletak pada bagaimana memahami itu bukan bagaimana menyelesaikannya, permasalahan yang lebih penting bagaimana memahami lebih dalam tentang diri kita masing-masing. Menyadari diri sendiri mungkin menjadikan suatu peristiwa dimana seseorang akan merasa dirinya sendiri adalah mahkluk yang tidak benar (bisa saja melakukan kesalahan), hal ini dinamakan dengan kesadaran diri sendiri, memang keadaan ini sulit untuk dimengerti jika kita terlalu banyak menganggap kontradiksi-kontradiksi sebagai pola pikir, bukan pola   diri sendiri.
Rasisme, bukanlah tentang membedakan, atau lebih tepatnya ke-adaan menyadari keadaan diri sendiri. Terutama ketika kita berada dalam keadaan sosial, tetaplah agama-agama yang akan mempengaruhi setiap kepercayaan, tetapi setiap kepercayaan itu tidak menjadi masalah ketika setiap saat keadaan itu mengangkat makna-makna dimana kita merasa simbol yang jadi tersendiri.
Pada zaman sekarang keadaan rasisme itu telah menjadi bagian yang paradok, dimana bagian-bagian itu terhubung oleh kemajuan-kemajuan tingkah lakunya sendiri. Terjadi jurang yang tumbuh setelahnya, atau tumbuhan-tumbuhan lain yang telah tergusur dalam mimpi, kita akan menjadikan keadaan rasisme itu sebagai pola yang terstruktur, pola-pola itu juga akan menjadikan sejarah yang akan datang, bagaimana bentuk rasisme sebetulnya telah mengabdikan sejarah manusia sendiri.
Seperti masyarakat Jepang yang dengan rela menghabisi nyawanya sendiri hanya untuk harga diri. Bentuk-bentuk inilah yang tidak bisa dilewati oleh rasisisme, rasisime hanya ada untuk perlawanan yang membedakan, tinggal bagaimana sistem pola-pola masyarakat tersendiri datang pada bagian lainnya. Mengelola sejarah pada bidang lain menjadikan struktur dengan keadaan dimana kita akan menjadikan keadaan itu hilang. Artinya adalah keadaan rasisme adalah keadaan dimana diri kita sendiri telah musnah oleh keadaan di sekitar, keadaan disekitar itu telah merasuki unsur-unsur ilmiah otak kita.
Sejarah mencatat manusia kebanyakan tidak pernah menyadari akan tubuh dan jiwanya sendiri, ini mengartikan jika manusia tidak bisa menganalisis pola-pola hidupnya, entahlah, bagaimana kita bisa mengubah ini semua, bukan hanya arti dalam rasisme saja, tetapi bagian-bagian negatif lainnya yang sebetulnya telah merenggut kesejatian kita sendiri, bagaimana kita menyadari itu jika----kita----sendiri enggan untuk menganalisis semua dengan utuh. Keadaan dimana sejarah mencatat hanyalah bagian untuk merubah itu semua. Manusia hadir untuk menyalahkan jika memang itu kebenarannya.
Menyadari hanyalah bentuk untuk menyelamatkan keadaan secara individual, kesadaran juga hanyalah bagian yang tidak utuh setelahnya.Tentang bagaimana merubah sejarah umat manusia adalah kenyataan lainnya pula.Menjadi sebab lain juga ketika ada rasa bersalah setelahnya, atau keadaan dimana kita menjadi sadar akannya. Nilai-nilai fundamental inilah yang akan berakhir, berakhir dalam artian tingkah laku, rasa bersalah juga akhirnya hanya rasa sadar sesaat.
Kebanggaan bangsa Jerman akan ras-nya hanyalah bagian lain dari kesombongan manusia, bagaimana kekuasaan menjadi alasan yang paling buruk setelah itu, kejadian-kejadian itu tidaklah merubah esensi bangsa Jerman, memerlukan waktu panjang setelah yang terakhir Nazi di dalam kepemimpinan Hitler yang berusaha menghakimi paham-paham yang menurutnya salah, dan berusaha menjadikan Dunia sebagai bagian lain dalam ideologinya.
Kebanggaan itu juga dialami oleh bangsa-bangsa lain, termasuk juga Indonesia, padahal secara Fundamental kebanggan ini merupakan doktrin yang harus dipertanggung jawabkan secara menyeluruh, menjadi lucu ketika tidak disadari oleh masyarakatnya. Seperti nasib Pancasila yang rentan akan kehancuran yang datang.
Bukti yang paling nyata adalah ketika masuknya paham komunisme dengan memanfaatkan paham-paham kebebasannya, menjadi adil ketika itu menuju kebenaran, tetapi tidak adil juga ketika secara menyeluruh itu mempunyai maksud yang paling bodoh dalam Negeri ini. Kejadian-kejadian ini menyalibkan dengan sengaja untuk merendahkan paham Pancasila, setelahnya juga tidak begitu baik, setelah reformasi paham-paham juga justru semakin tidak jelas.
Pada akhir jabatannya kita seluruhnya menyadari kita terlalu menghukum manusia sesame manusia, Soeharto dengan fasismenya tetap mengambil aturan-aturan dalam reformasi ini, kalangan atas tetap menyebutnya kebaikan, begitu juga sebalinya ketika yang ada hanyalah persepsi secara subjektifitas. Terkadang saya, menyebutnya penghukuman dengan sendiri, pola-pola inilah terkadang membuat saya merasa perlu menulis ini semua. Bagimana kita bisa memahami keadaan diri sendiri, makna-makna lain juga enggan kita pahami secara menyeluruh.Pada bagian akhir ini, kita perlu mencatat jika secara paham dan perbuatan dan tingkatan dan penyelesaian hanya tipis perbedaannya.
Sehingga pada permasalahan rasisme menjadi sangat vital, kejadian-kejadian ini tetap akan terjadi dengan objek-objek yang semakin banyak, dan bersiaplah menjadi bagian paling kelam secara etika pada zaman mendatang.

Bangkit Prayogo, Majalah Indeks edisi ke-5

0 komentar:

Posting Komentar