RASISME
Suatu ketika disaat saya masih duduk dibangku SMA,
saya sering mendapatkan keadaan dimana banyaknya rasisme disekolah. Hal apa
yang terjadi? Padahal secara esensial kita selalu diajarkan tentang hal-hal
bernama budi pekerti, namun kenyataannya selalu berbanding terbalik dengan yang
diinginkan. Suatu kenyataan yang membuat diri saya sendiri terheran-heran, dan
kenyataan tentang rasisme itu telah mencemarkan nama baik kita sebagai umat
manusia, bukan hanya mencangkup kebaikan diri sendiri, terbentuk dari sitem
pola sadar diri kita sendiri.
Kenyataan memang sulit untuk dipahami, memang benar,
tapi kenyataan seperti apa? Apakah rasisme
merupakan kenyataan yang sulit dipahami? Jika memang sulit dipahami buat apa
rasisme kita pertentangkan dengan nilai-nilai budi pekerti. Sejak dahulu, sejak
zaman Adam, sampai dengan perang
Dunia 1-2 permasalahan rasisme tetap tidak bisa terhindarkan. Bukankah itu
sebuah masalah? Atau memang kenyataan yang harus buru-buru kita terima jika
manusia adalah mahkluk yang secara harfiah memang suka membeda-bedakan
sesamanya.
Sejarah tidak bisa kita pungkiri, dan umat manusia menjadikan alasan
sebagai pola ukur yang dibedakan. Esensi terletak pada bagaimana memahami itu bukan
bagaimana menyelesaikannya, permasalahan yang lebih penting bagaimana memahami
lebih dalam tentang diri kita masing-masing. Menyadari diri sendiri mungkin
menjadikan suatu peristiwa dimana seseorang akan merasa dirinya sendiri adalah
mahkluk yang tidak benar (bisa saja melakukan kesalahan), hal ini dinamakan
dengan kesadaran diri sendiri, memang keadaan ini sulit untuk dimengerti jika
kita terlalu banyak menganggap kontradiksi-kontradiksi sebagai pola pikir,
bukan pola diri sendiri.
Rasisme, bukanlah tentang membedakan, atau lebih
tepatnya ke-adaan menyadari keadaan diri sendiri. Terutama ketika kita berada
dalam keadaan sosial, tetaplah agama-agama yang akan mempengaruhi setiap
kepercayaan, tetapi setiap kepercayaan itu tidak menjadi masalah ketika setiap
saat keadaan itu mengangkat makna-makna dimana kita merasa simbol yang jadi
tersendiri.
Pada zaman sekarang keadaan rasisme itu telah menjadi
bagian yang paradok, dimana bagian-bagian itu terhubung oleh kemajuan-kemajuan
tingkah lakunya sendiri. Terjadi jurang yang tumbuh setelahnya, atau
tumbuhan-tumbuhan lain yang telah tergusur dalam mimpi, kita akan menjadikan
keadaan rasisme itu sebagai pola yang terstruktur, pola-pola itu juga akan
menjadikan sejarah yang akan datang, bagaimana bentuk rasisme sebetulnya telah
mengabdikan sejarah manusia sendiri.
Seperti masyarakat Jepang yang dengan rela menghabisi
nyawanya sendiri hanya untuk harga diri. Bentuk-bentuk inilah yang tidak bisa
dilewati oleh rasisisme, rasisime hanya ada untuk perlawanan yang membedakan,
tinggal bagaimana sistem pola-pola masyarakat tersendiri datang pada bagian
lainnya. Mengelola sejarah pada bidang lain menjadikan struktur dengan keadaan
dimana kita akan menjadikan keadaan itu hilang. Artinya adalah keadaan rasisme
adalah keadaan dimana diri kita sendiri telah musnah oleh keadaan di sekitar,
keadaan disekitar itu telah merasuki unsur-unsur ilmiah otak kita.
Sejarah mencatat manusia kebanyakan tidak pernah
menyadari akan tubuh dan jiwanya sendiri, ini mengartikan jika manusia tidak
bisa menganalisis pola-pola hidupnya, entahlah, bagaimana kita bisa mengubah
ini semua, bukan hanya arti dalam rasisme saja, tetapi bagian-bagian negatif
lainnya yang sebetulnya telah merenggut kesejatian kita sendiri, bagaimana kita
menyadari itu jika----kita----sendiri enggan untuk menganalisis semua dengan
utuh. Keadaan dimana sejarah mencatat hanyalah bagian untuk merubah itu semua. Manusia
hadir untuk menyalahkan jika memang itu kebenarannya.
Menyadari hanyalah bentuk untuk menyelamatkan keadaan
secara individual, kesadaran juga hanyalah bagian yang tidak utuh
setelahnya.Tentang bagaimana merubah sejarah umat manusia adalah kenyataan
lainnya pula.Menjadi sebab lain juga ketika ada rasa bersalah setelahnya, atau
keadaan dimana kita menjadi sadar akannya. Nilai-nilai fundamental inilah yang
akan berakhir, berakhir dalam artian tingkah laku, rasa bersalah juga akhirnya
hanya rasa sadar sesaat.
Kebanggaan bangsa Jerman akan ras-nya hanyalah bagian
lain dari kesombongan manusia, bagaimana kekuasaan menjadi alasan yang paling
buruk setelah itu, kejadian-kejadian itu tidaklah merubah esensi bangsa Jerman,
memerlukan waktu panjang setelah yang terakhir Nazi di dalam kepemimpinan
Hitler yang berusaha menghakimi paham-paham yang menurutnya salah, dan berusaha
menjadikan Dunia sebagai bagian lain dalam ideologinya.
Kebanggaan itu juga dialami oleh bangsa-bangsa lain,
termasuk juga Indonesia, padahal secara Fundamental kebanggan ini merupakan doktrin
yang harus dipertanggung jawabkan secara menyeluruh, menjadi lucu ketika tidak
disadari oleh masyarakatnya. Seperti nasib Pancasila yang rentan akan
kehancuran yang datang.
Bukti yang paling nyata adalah ketika masuknya paham
komunisme dengan memanfaatkan paham-paham kebebasannya, menjadi adil ketika itu
menuju kebenaran, tetapi tidak adil juga ketika secara menyeluruh itu mempunyai
maksud yang paling bodoh dalam Negeri ini. Kejadian-kejadian ini menyalibkan
dengan sengaja untuk merendahkan paham Pancasila, setelahnya juga tidak begitu
baik, setelah reformasi paham-paham juga justru semakin tidak jelas.
Pada akhir jabatannya kita seluruhnya menyadari kita terlalu
menghukum manusia sesame manusia, Soeharto dengan fasismenya tetap mengambil
aturan-aturan dalam reformasi ini, kalangan atas tetap menyebutnya kebaikan,
begitu juga sebalinya ketika yang ada hanyalah persepsi secara subjektifitas. Terkadang
saya, menyebutnya penghukuman dengan sendiri, pola-pola inilah terkadang
membuat saya merasa perlu menulis ini semua. Bagimana kita bisa memahami
keadaan diri sendiri, makna-makna lain juga enggan kita pahami secara menyeluruh.Pada
bagian akhir ini, kita perlu mencatat jika secara paham dan perbuatan dan
tingkatan dan penyelesaian hanya tipis perbedaannya.
Sehingga pada permasalahan rasisme menjadi sangat
vital, kejadian-kejadian ini tetap akan terjadi dengan objek-objek yang semakin
banyak, dan bersiaplah menjadi bagian paling kelam secara etika pada zaman
mendatang.
Bangkit Prayogo, Majalah Indeks edisi ke-5
0 komentar:
Posting Komentar