Minggu, 03 Mei 2015

KERETA

 
Betul juga kata orang-orang cuaca hari ini begitu menyiksa kulitku, awan tidak juga mendung, yang ada berbagai macam rongsokan-rongsokan yang berceceran di tanah. Wajah dan teriakan-teriakan disudut-sudut kota ini juga menyinggungku untuk segera kembali. Aku sekarang sedang menunggu kereta, sudah 1 jam lebih aku menunggu, padahal jadwal di tiket sudah jelas-jelas pukul 12.30, tapi sampai sekarang jam sudah menunjukkan pukul 13.30 kereta tidak kunjung tiba, apalagi matahari juga tidak mau berkompromi dengan panasnya. Andai hujan tiba, mungkin keluhku tidak sampai seperti ini.
Buat apa tiket ini, jika jadwal tidak tepat dengan  jadwal itu sendiri, sedangkan di berbagai Negara yang juga berkembang kereta adalah transportasi yang menjanjikan. Kita sudah lama merdeka, namun tidak juga mengerti apa yang namanya kemajuan zaman, yang ada hanya slogan-slogan tentang kampanye itu, ah! Buat apa sih mereka begitu, kekuasaan yang mereka cari, sedangkan yang kulihat malah kemiskinan seperti ini. Aku sedang bergumam dihati, sebab kereta juga tak kunjung tiba, kesabaranku seakan hilang, kulihat sudut-sudut stasiun ini, ternyata mereka berwajah sama, entah yang menunggu atau bukan. Lebih mirip penjahat-panjahat yang kelaparan. Sudah kuduga awak bencana bagi negeri ini adalah kemiskinan, di hadapanku sekarang terbentang memorial kota zaman dahulu, dimana tidak ada pertapaan yang ada hanya referendum perundingan untuk merumuskan sesuatu, akal sekarang lebih penting ketimbang kejujuran. Aku sekejap seperti seorang yang sedang berada dalam forum perdamaian dan menyampaikan ide dan gagasan dalam pikiranku.
Akhirnya dari kejauhan, tampak kepulan asap dan suara mesin yang mengagetkan para penjual yang dengan asyik berjualan dipinggir rel kereta, nyawanya aja tidak terpikirkan apalagi dengan sekitarnya. Akhirnya satu persatu terpisahkan dari jarak tempat yang tadi. Kupikir sekaranglah munculnya perang, sebab tanpa disadari memasuki kereta adalah hal yang sangat sulit, kita harus berjubel dengan banyak orang tidak perduli kecil atau tinggi, muda atau tua, miskin atau kaya. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan, disaat itulah intelegensi alami kita akan diuji, kemurnian hati yang tulus akhirnya akan diuji juga.
“Kereta tiba, kereta berhenti, ayo nak! Cepat gandeng tangan ibuk, jangan lepas dari ibuk”
Kulihat seperti gerombolan sapi yang dikejar mangsanya, anak itu menangis, menjerit melihat badannya dibentur-benturkan. Kita pahami saja tubuh anak-anak yang masih mungil dan rentan, kuhampiri anak itu, kuteriaki ibunya, seolah-olah sedang memarahinya.
“Buk! Lihat anak ibuk! Dia terjepit dan hampir terpisah, setidaknya ibuk mundur dahulu, kita lebih baik mengalah, saya takutnya anak ibu akan kenapa-kenapa!”  Teriakan-teriakan orang yang mengampuni sebuah pintu semakin gila saja, jendela satu persatu terisi oleh orang, dengan menatap mereka seperti menghina kami yang belum bisa masuk kereta. Sedangkan aku masih sibuk dengan dua ekor manusia yang sebetulnya aku tidak peduli dengan ibuknya, tapi melihat anak ini, aku sadar, bagaimana jika itu adalah aku. Dengan menoleh kebelakang, wajah keriput, berminyak, rambut kusal, dan teriakan yang sangat keras, ibuk itu malah menyarankan aku untuk segera menggendong anaknya.
“Sebaiknya adek cepat naik ke kereta, saya sudah bisa masuk!”
“Tapi buk! Bagaimana dengan anakmu ini!”
“Gendong dia, bawakan ke saya sekarang, lihatlah dia anakku! Anakku menangis, memanggil saya!, cepat bawakan anak saya! Gendong atau dengan cara apapun!”
Ibuk itu dengan gampang memarahi aku, padahal jika di runtut akar kenapa anaknya bisa terpisah, ya gara-gara si ibuk sendiri. Kenapa harus aku juga yang kena getahnya. Sedangkan kanan dan kiriku sudah seperti banteng kesurupan, mereka tidak memperdulikan aku dan anak ini. Sudah-sudah kupikir aku sedang menjadi hakim yang bijak!
“iya buk, saya akan bawakan anak ibuk, tunggu jangan kemana-kemana!”
Tanpa banyak berfikir panjang, kugendong anak ini, ternyata tubuhnya berat juga, perlu diketahui anak ini berkelamin perempuan, umurnya berkisar 5 tahun, kugendong anak ini, kulewati tubuh-tubuh manusia ini dengan penuh semangat. Otot-otot lenganku yang kukeraskan dengan otak yang juga berfikir keras. Meskipun sesekali terdengar umpatan, makian karena tubuhnya terdorong olehku, sekali lagi dalam batinku aku akui harus ada pengorbanan meskipun hanya dalam sekecil ini, memasuki pintu kereta. Akhirnya dengan perjuangan yang bisa kutelusuri adalah bentuk pengorbananku, aku bisa sampai ke dalam kereta. Wajahku sekarang bingung mencari ibuk tadi, bukannya tadi kusuruh untuk menunggu! Kenapa juga dia hilang “Ah! Kemana juga ibuk tadi pergi, anakmu iniloh menangis dengan riangnya, belum lagi tangisannya sangat kencang! Sudah diam dek, kakak juga pusing ini!”. Tiba-tiba didekat jendela, sebelah kanan badanku ada tangan dan tubuh yang samar-samar mirip ibuk tadi, kuhampiri ibuk itu, dengan dua langkah kedepan, dan dengan lekukan-lekukan alami yang secara tidak sadar kulakukan! ternyata itu benar ibuk tadi! Dia sudah duduk dengan kipasnya dan dengan air dinginnya. Sambil tersenyum lebar, memperlihatkan giginya
“terima kasih nak! Saya ucapkan terima kasih, dari pada tempat duduk ini full, akhirnya saya berinisiatif untuk mencari tempat duduk dulu, kaki saya pegal, kepala saya pusing nak!”
“Sewajarnya seorang ibuk akan memikirkan anaknya terlebih dahulu, dunia ini memang sudah gila ternyata, hal yang wajar dianggap tidak wajar, dan hal yang tidak wajar dianggap wajar!. Ibu dengan santainya mengipas-ngipas badan yang sudah rentan itu, anak ibuk ini menangis, masa depannya masih panjang, umurnya dan barokahnya lebih baik dari pada ibuk!.” kubentak-bentak ibuk itu dengan sangat keras, sehingga membuat wajah orang-orang dalam kereta juga melihatku, memandangiku dengan sinis, dan seorang bapak yang kira-kira umurnya sekitar 50 tahun malah membentakku, menyalahkanku karena membentak orang yang sudah tua.
“Apakah ini wajah dari muda-mudi Indonesia, bangsa ini memerlukan pemuda yang berkualitas dan berakhlak tinggi, tidak sepertimu dek! Yang membentak-bentak orang yang sudah tua, apalagi dihapan umum seperti ini.”
“Bapak tahu apa tentang saya, bapak tidak tahu ujung permasalahannya, ibuk itu meninggalkan anaknya, membiarkan anaknya menangis!, yang menjadi sebab kenapa aku memarahinya, dan bapak tidak usah berbicara akhlak sebab tidak ada hal yang baik di zaman sekarang, semua hal adalah kesalahan! Kita berbuat baik tetap akan dipandang salah, begitu juga sebaliknya!. Wanita yang cantik belum tentu cantik, wanita jelek belum tentu jelek, zaman sekarang semua harus dipikirkan dengan otak!. Sedangkan ibuk ini hanya mementingkan dirinya sendiri, dia membiarkan anaknya dipundakku, andaikan aku ini orang jahat sudah kuculik anak ini dan kujual!, tapi aku kasihan dengan anak ini, dia menangis dan menangis.”
Bapak itu tanpa bersuara pergi dengan gerakan cepatnya, wajahnya malu merah muda. Kutarik nafasku untuk beberapa detik, kuhitung-hitung sampai 30 detik, ternyata darahku masih normal, itulah ilmu yang kuperoleh dari dosenku. Tanpa banyak basa-basi kuberikan anak itu ke ibuknya, denga dingin kuberikan anaknya, disaksikan beribu manusia yang tertuju kepadaku. Aku merasa seperti dalam keadaan sebagai pahlawan yang menyelamatkan anak manusia dari kejahatan dunia ini. Tidak ada ucapan terima kasih dari ibuk itu, sudahlah kuanggap pahalaku melebihi dewa sekarang.
Satu meter melewati sang anak, yang melihatku dengan tepian rambutnya yang halus sekali, terasa sekali tas gendongku ini berat. Kira-kira rasanya beribu kilo gram beratnya, atau kurasa tubuhku ini yang enggan menerima rasa dari tasku. Kucari-cari celah tempat duduk di kereta ini, rasanya aku melewati tulang-tulang yang terbuat dari kera. Tubuh manusia yang rentan, tua, muda dan masih banyak lagi. Aku merasa beberapa jendela kereta sudah rapuh olehnya, kurasa sepatuku juga lecet oleh tinja-tinja kaki yang lain. Oh, betapa rapuhnya tubuhku ini, penggalan kepala anak tadi masih terlihat, dia sudah sedikit nyenyak dipangkuan ibunya tadi. Dan penggalan-penggalan kepala orang sungguh menarik perhatian, ada yang menangis ada yang membaca Koran-koran yang beritanya tentang kejadian hilangnya pesawat, ada juga yang sedang mendengarkan musik, dan ada juga yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Kira-kira sudah 10 menit aku mencari bingkai tempat duduk yang kosong, di depan, sebelah kiri jendela yang bertuliskan anjing untuk masa depan, disitu badai menimpa orang-orang yang membaca, dan tepat disebelahnya tempat duduk kosong, segera kuterobos tubuh manusia-manusia yang enggan menyapa sesama, dan akhirnya tepat disebelah kekosongan itu tubuhku sampai pada tempat yang dituju.
“Boleh geser sedikit mbak?” ternyata sudah ada yang menempati, perlu di ingat jika tempat duduk pada kereta ini terbagi dua dan saling berhadapan.
“Boleh mas, silahkan duduk” dia sangat manis menurutku, dengan rambut yang terbelah separuh, halus berwarna hitam pekat sangat mirip bidadari jawa yang sangat menaati norma-norma kejawen yang halus. Dengan segera mbak ini bergeser, dia menggeser tubuhnya dengan sangat sopan, “Silahkan mas” terimakasih dalam hatiku untuknya, segera aku duduk dengan memangku tas yang berat ini. Tubuhku akhirnya menerima referendum-referendum nilai yang mulai tidak adil. Akankah ada hal yang menurutku tidak adil, itu sudah menurutku adil dan tidak adil menurut yang adil.
Suara kereta terdengar melangkah, batu-batu kerikil dibawahnya terdengar meletus  kasar, menerima kemungkinan yang lain yang meruntunkan doa-doaku yang hilang sementara. Bungkusan pepohonan dari kejauhan mulai tampak, perjalanan yang akan menempuh kelelahan lain, aku adalah seorang laki-laki dengan tubuh agak kurus, tinggi dan sedang menyimpulkan gambaran-gambaran yang indah tentang dunia ini. Kurasa ada kemungkinan dalam dunia ini yang tidak pernah terpikirkan, dibalik beribu kepala yang kulihat ini aku merasa menjadi dari sejarah yang lalu, dan aku melihat pepohonan dari kejauhan menyapa, walaupun aku melihatnya dari ujung jendela yang agak jauh. Sedangkan wanita disampingku sudah mulai tertidur dengan alam mimpinya, dia terlihat berkumis dengan tipis-tipis yang mendukung semua lelaki agar menyukainya. Kereta ini tampaknya sudah berumur tua, atap yang mengapur dan deretan debu yang agaknya bertebaran dihidungku. Kotor sekali, sampai-sampai aku membayangkan jika ini adalah kereta kayangan yang sejak dahulu diceritakan oleh mamaku dari dulu. Seketika aku kaget, ada sepenggal tangan menepuk pundakku
“Sedang memikirkan apa mas?” ternyata wanita disebelahku memandangiku, dengan senyumannya. Aku kira dia sudah tertidur dengan mimpinya tadi.
“Tidak mbak, aku hanya sedang mengamati apa yang ada diluar jendela itu, dan atap kereta ini, sepertinya aku sedang menjadi detektif kampungan. Aku memang suka berkhayal mbak, sejak dari kecil mamaku juga sering mendongengiku kisah-kisah jawa mbak”. Aku menganggap diriku sejejar dengan orang-orang pintar yang sedang dibaca orang di depanku, ada perkataan reformasi dan revolusi dari abdi Negara, dan seketika aku meneruskan pembicaraan ini.
“Pikiranku selalu merasa ada ketidakadilan mbak, disana-sini ada manusia yang selalu mendahulukan individualnya, sedang tanpa disadari manusia itu sendiri melupakan nilai-nilai sosial dalam hakikatnya mbak!”
“kurasa semua yang mas katakan adalah kebenaran mas, dunia ini memang begini mas, tidak ada kemungkinan dalam kemungkinan. Setidaknya kita ini mas, adalah manusia yang sedang mencari kebenaran mas, lihatlah sekitar ini mas apa mereka berfikir sama dengan mas ini? Tidak kan, yang ada bermacam pemikiran dari diri manusia mas”. Perempuan ini sangat mengagumkan, ketika dia berbicara seperti putri Diana bagiku, ah aku sedang berfantasi dengannya sekarang. Dan sedikit melupakan orang-orang disekitarku, aku seperti dalam dongeng tidak terasa hawa yang panas, keluh kesah tadi sudah kulupakan, dan beginilah hal yang kuinginkan. Memungkinkan adalah hal yang semacam ini, diriku seperti berada dalam ajaran-ajaran yang normal, ketika wanita ini berbicara seperti burung dara, cantik dan rupawan.
“Memangnya mas sedang kemana?, kalau boleh tahu siapa nama mas?” dengan senyum yang tetap manis, wanita ini mengajukan pertanyaan yang berupa perumpamaan lain, aku seketika saja meletakkan duapuluh jariku untuk menjawab dengan tegas pertanyaannya.
“Namaku aidan, aku keturunan jawa sunda mbak, ayah dan mamaku sudah merantau ke luar negeri sejak aku kecil. Dan sejak saat itu aku diasuh oleh nenekku mbak. Neneku sudah kuanggap pelindungku, bagaimana dia memeras susu sapi ketika pagi dan menjualnya ketika pagi juga.” Dia kemudian bertanya lagi
“Mas aku lihat-lihat sudah bekerja ya, kerja dimana?”
“Belum mbak, aku belum kerja, masih sibuk dengan tumpukan kertas putih alias skripsi akhir mbak, dan sepenggal-sepenggal imajinasiku selalu terenggut olehnya mbak! Seperti Negeri ini mbak, yang selalu meluangkan waktunya ke dunia-dunia yang hayal.” Akhir-akhirnya aku selalu meluangkan kisahku ke dunia yang rumit ini, dan kedua kalinya wanita ini menunjukkan sikap bagai bidadari dunia.
“Mas ini selalu berfikir tentang dunia ya, kuanggap ini adalah nilai plus dari pemikiran mas, seolah-olah mas ini pengantar yang handal, menurutku itu adalah bagian yang mas miliki dan harus diolah berdasarkan pengalaman yang objektif.” Setelah itu wanita ini memperkenalkan dirinya tanpa aku suruh, dia menjulurkan tangan putihnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus nan cantik dan rupawan, kutatap sekitar ada manusia-manusia yang memojokkan matanya serupa burung hantu. Kerlipan-kerlipan jendela kereta juga menjulang bening, ketika tiba-tiba air hujan turun membasahi kereta ini, bunyinya keras sekali, udara tiba-tiba dingin, suhunya kira-kira 25 derajat celcius. Sama seperti tangan wanita ini.
“Aku ina mas, aku lahir di kepulauan batam, disana banyak sekali pasir-pasir laut yang indah, dan disetiap senja datang aku sering melamun mas, betapa indahnya Negara kita ini. Sama dengan masnya, akus sering berkhayal tentang negeri di atas awan, dengan berjuta rerumputan tumbuh disekitar ilalang atau memuja patung disebelah monumen kotaku. Bagaikan mimpi mas, semenjak aku lahir sampai sekarang aku tidak pernah melihat tubuh manusia mas, yang sering kulihat berupa pahatan-pahatan dalam mimpi, kecuali aku sendiri yang memulainya mas”
Kami terus berbincang, mengenai kisah dan kepiluan hidup masing-masing. Rasaku menyatu dengannya, tanpa disadari oleh keheningan hujan dalam kereta ini, mata saling berbincang, udara saling menghirup dan kepiluan menjaga waktu menuju senja yang tiba. Kereta ini akan berhenti di kota Surabaya, disana kami akan memulai hidup yang lain, berpisah dan bertemu. Perjalanan ini membutuhkan 1 hari setengah untuk tiba di Surabaya, kenikmatan yang mulai ada dihatiku.
Aku pikir, perjalananku sungguh ajaib, tak terasa orang-orang disekitarku sudah mulai tidur, mereka menaruh kepala kesandaran jiwanya masing-masing, jendela masih saja menunjukkan kepiluan arti, dan aku masih saja bercerita dengan wanita bernama ina ini, sepertinya hujan mulai menindihkan perjalanku, semakin lebat hingga atap kereta tua ini meneteskan air tuban ibunya sendiri, asin rasanya. Baju ina juga terkena,  akhirnya terlihat sedikit lekukan tubuhnya itu, ini yang membuatku merasa tidak enak, kutawari jaketku padanya, dan dia hanya tersenyum, menyapaku dengan senyuman itu sangat membuatku terbuai. Sekali lagi aku merasa disekitarku ini hanya boneka-boneka mainan, aku sudah lupa akan ibuk tadi dan anaknya yang menangis, seolah kejadian itu bukan di kereta ini. Akhir dari kesedihanku dalam hidup ini hilang ketika aku duduk disamping ina, dia kuanggap penderitaanku sendiri. Dan dengan sangat kaget tiba-tiba dia memegang tanganku, dengan lembut dan mesra.
“Mas, ketika daun disekitar jendela kereta ini hancur dan menimpa wajahku, apa yang akan mas perbuat?” pertanyaan yang aneh bagiku sebab, terkesan tiba-tiba dan mengada-ngada. Kujawab juga dengan seadanya, itu terkesan jujur tulus dan lugu.
“Akan kusingkirkan, dan seketika ku-usap wajahmu itu dengan seribu bunga”
“Sangat puitis bahasamu mas, aku tidak begitu mengerti” genggaman tangannya, semakin erat. Kukuku diremasnya menjadi beberapa bagian, tulang bahuku disandarkannya kepalanya. Dan sekujur tubuhku dipeluknya. Aku tidak lagi melihat orang dikereta ini, semua hilang, jendela, Koran-koran, kebisingan dan tangisan memuja hujan yang juga hilang. Yang ada hanya kami berdua, berpelukan dengan hangatnya.
“Ina, apakah ini hanya mimpiku?” kubertanya selagi hal yang ingin kutanyakan masuk akal, sebab kejadian ini serba tidak masuk akal.
“Tidak mas, ini adalah kenyataan, dan kenyataan ini merasuki pikiranmu, kita sedang berdua, di dalam kereta yang sepi dan penuh cinta ini”
“Bukankah, tadi sangat banyak orang berhamburan, dengan beribu kepanasan, dan kerah-kerah baju yang kotor karena angin?”
“Itu hanyalah ilusi mas saja, kita sudah beberapa jam berdua, dengan kepulan hujan yang semakin membuatku ingin memeluk mas, jangan pernah berfikir macam-macam mas!”
Aku terasa nyaman dengan keadaanku sekarang, dimana kereta yang panas berubah sejuk dan menyenangkan, beribu taman bunga didepanku, dan jendela itu berbuah menjadi rangkaian gunung-gunung rimbun. Di depanku berbuah sayuran dan taman dengan lampu-lampu ditumbuhi karangan-karang cinta lain. Sedangkan aku masih duduk disamping ina, hanya menyelundupkan dua belas tangan dan kepala yang tengkurap dielusnya. Rasanya seperti pijatan dewi langit, halus dan begitu nikmat, hujan tetap saja menundukkan ina kedalam wujud wanita dengan senyum, rambutnya terbelah ke wajahku, baunya harum, ranum bagaikan siraman kembang bunga. Aku ingat kisah bidadari yang dahulu sering diceritakan mamaku, dia sering tersenyum dengan gigi putih, bahu sejajar layaknya minuman anggur. Aku dengan sengaja mengamati semua tubuhnya, tidak ada kekurangan sedikitpun. Aku anggap ini sesajian atau nilai plus dari kereta ini.
Kira-kira jam tanganku menunjukkan pukul 17.30, hujan mulai redah, ratapan kereta mengulangi masa lampau dengan enaknya, bunyi-bunyi kerikil dibawah hanyut seperti air. Tasku sudah pindah keatas tempat rak. Orang-orang tetap saja tidur, dengan beribu tas dan berdirinya orang-orang tadi juga sudah hilang, aku merasa asing dengan ini semua, percikan jendela itu menuliskan aku cinta kamu, berjuta karangan bunga menerpa mukaku. Kulihat juga ina, dia tertidur, bunyi kereta masih saja senyap, hujan menampakkan hilangnya. Aku terheran bagaimana kereta ini bagai sorga yang turun untukku. Karena merasa asing kucoba membangunkan ina, dengan sabar dan kucubit kulitnya akhirnya dia terbangun, memandangiku dengan sayu, sembari berkata.
“Ada apa mas?”
“Kita ini berada dimana?, aku asing dengan ini? Aku merasa seperti tidak ada dalam kereta?”
“Mas ada-ada saja, kita sedang menuju Surabaya untuk menjenguk perjumpaan yang lain, sama halnya ketika mas bercerita tentang Negeri ini. Penuh kerumitan mas!”
“Aku merasa terbuat tercengang denganmu, aku ingat saat ibuku bercerita tentang dongeng, ibuku bilang jika menjelang mangrib banyak kejadian-kejadian aneh, mulai bermimpi, melihat awan yang berbentuk segitga bujur sangkar, dan yang paling mengerikan melihat hantu!, itu dongeng yang sering ibu ceritakan, entah percaya atau tidak, aku hanya menganggapnya dongeng belaka”
“Jika itu benar bagaimana mas?” Ina menundukkan kepalanya, kembali lagi senyuman itu membuatku tertarik padanya, segala yang berubah ini bagai hilangnya kapal pesiar dilautan bebas. Ina menarik nafas dalam-dalam, kepulan dadanya terselubung melewati batas bajunya, aku hanya bisa diam meratapi kejadian yang ada dihadapanku, mulai dari kancing baju, celana , dan ribuang hektar rambutnya yang terkulai lemas, dia memelukku, sembari mengucapkan salam perpisahan. Aku ingin mengatakannya juga, tapi ada sesuatu yang menghalangiku yaitu sebuah tembok besar yang tiba-tiba datang dalam atap kereta ini. Kuhimpun kewajaran dan ina tiba-tiba menghilang, sekejab bagaikan debu diterjang angin topan, aku kaget untuk sekejap kembali melihat atap kereta yang tiba-tiba memuncratkan keringat tubuhku! Dimana aku, aku bingung, keadaan tiba-tiba panas lagi, dan kebisingan mulai menyeruak dalam benakku. Apa ini, disebelahku tiba-tiba ada anak kecil tadi, dan didepanku ada dua sosok perempuan setengah baya membaca Koran, yang bacaanya tentang lika-liku Negeri ini. Dan disamping tempat dudukku berjubelan orang-orang mengangkat tangannya untuk mencari gelantungan. Aku lihat jam dan masih sekitar jam 14.00 wib, segera kubertanya kejadian aneh ini, ke perempuan yang ada di depanku
“Permisi kemana wanita yang duduk disebelahku tadi buk?”
“Wanita yang mana mas?Dari tadi mas tidur dengan nyenyaknya, bergumam dan sering mengepalkan tangan mas sendiri?” aku kaget dengan jawaban ini, aku segera bertanya lagi. “Apakah kereta sudah berangkat buk?” si Ibu itu akhirnya menaruh lembar Korannya dan menjawab dengan tegasnya.
“Kereta belum berangkat mas! Tidak tahu ini, bagaimana mau maju jika dalam waktu saja tidak tepat!”
Akhirnya aku sandarkan lagi tubuhku, menyekap keringat, melihat sekitar. Tas ada didepanku, atap masih karatan, bajuku penuh keringat, dan tiba-tiba anak kecil disampingku bilang, “Wanita yang bernama ina itu sudah pergi kak, dari ujung jendela itu, dan menitipkan bunga mawar dalam ingatan kakak” kemudian kereta berangkat menuju Surabaya yang hangat akan debu, bingung dan pergi.

 Bangkit W Prayogo, Majalah Indeks__Cerpen






0 komentar:

Posting Komentar