Betul
juga kata orang-orang cuaca hari ini begitu menyiksa kulitku, awan tidak juga
mendung, yang ada berbagai macam rongsokan-rongsokan yang berceceran di tanah.
Wajah dan teriakan-teriakan disudut-sudut kota ini juga menyinggungku untuk
segera kembali. Aku sekarang sedang menunggu kereta, sudah 1 jam lebih aku
menunggu, padahal jadwal di tiket sudah jelas-jelas pukul 12.30, tapi sampai
sekarang jam sudah menunjukkan pukul 13.30 kereta tidak kunjung tiba, apalagi
matahari juga tidak mau berkompromi dengan panasnya. Andai hujan tiba, mungkin
keluhku tidak sampai seperti ini.
Buat
apa tiket ini, jika jadwal tidak tepat dengan
jadwal itu sendiri, sedangkan di berbagai Negara yang juga berkembang
kereta adalah transportasi yang menjanjikan. Kita sudah lama merdeka, namun
tidak juga mengerti apa yang namanya kemajuan zaman, yang ada hanya
slogan-slogan tentang kampanye itu, ah! Buat apa sih mereka begitu, kekuasaan
yang mereka cari, sedangkan yang kulihat malah kemiskinan seperti ini. Aku
sedang bergumam dihati, sebab kereta juga tak kunjung tiba, kesabaranku seakan
hilang, kulihat sudut-sudut stasiun ini, ternyata mereka berwajah sama, entah
yang menunggu atau bukan. Lebih mirip penjahat-panjahat yang kelaparan. Sudah
kuduga awak bencana bagi negeri ini adalah kemiskinan, di hadapanku sekarang
terbentang memorial kota zaman dahulu, dimana tidak ada pertapaan yang ada
hanya referendum perundingan untuk merumuskan sesuatu, akal sekarang lebih
penting ketimbang kejujuran. Aku sekejap seperti seorang yang sedang berada
dalam forum perdamaian dan menyampaikan ide dan gagasan dalam pikiranku.
Akhirnya
dari kejauhan, tampak kepulan asap dan suara mesin yang mengagetkan para
penjual yang dengan asyik berjualan dipinggir rel kereta, nyawanya aja tidak
terpikirkan apalagi dengan sekitarnya. Akhirnya satu persatu terpisahkan dari
jarak tempat yang tadi. Kupikir sekaranglah munculnya perang, sebab tanpa
disadari memasuki kereta adalah hal yang sangat sulit, kita harus berjubel
dengan banyak orang tidak perduli kecil atau tinggi, muda atau tua, miskin atau
kaya. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan, disaat itulah intelegensi alami kita
akan diuji, kemurnian hati yang tulus akhirnya akan diuji juga.
“Kereta
tiba, kereta berhenti, ayo nak! Cepat gandeng tangan ibuk, jangan lepas dari
ibuk”
Kulihat
seperti gerombolan sapi yang dikejar mangsanya, anak itu menangis, menjerit
melihat badannya dibentur-benturkan. Kita pahami saja tubuh anak-anak yang
masih mungil dan rentan, kuhampiri anak itu, kuteriaki ibunya, seolah-olah
sedang memarahinya.
“Buk!
Lihat anak ibuk! Dia terjepit dan hampir terpisah, setidaknya ibuk mundur
dahulu, kita lebih baik mengalah, saya takutnya anak ibu akan
kenapa-kenapa!” Teriakan-teriakan orang
yang mengampuni sebuah pintu semakin gila saja, jendela satu persatu terisi
oleh orang, dengan menatap mereka seperti menghina kami yang belum bisa masuk
kereta. Sedangkan aku masih sibuk dengan dua ekor manusia yang sebetulnya aku
tidak peduli dengan ibuknya, tapi melihat anak ini, aku sadar, bagaimana jika
itu adalah aku. Dengan menoleh kebelakang, wajah keriput, berminyak, rambut
kusal, dan teriakan yang sangat keras, ibuk itu malah menyarankan aku untuk
segera menggendong anaknya.
“Sebaiknya
adek cepat naik ke kereta, saya sudah bisa masuk!”
“Tapi
buk! Bagaimana dengan anakmu ini!”
“Gendong
dia, bawakan ke saya sekarang, lihatlah dia anakku! Anakku menangis, memanggil
saya!, cepat bawakan anak saya! Gendong atau dengan cara apapun!”
Ibuk
itu dengan gampang memarahi aku, padahal jika di runtut akar kenapa anaknya
bisa terpisah, ya gara-gara si ibuk sendiri. Kenapa harus aku juga yang kena
getahnya. Sedangkan kanan dan kiriku sudah seperti banteng kesurupan, mereka
tidak memperdulikan aku dan anak ini. Sudah-sudah kupikir aku sedang menjadi
hakim yang bijak!
“iya
buk, saya akan bawakan anak ibuk, tunggu jangan kemana-kemana!”
Tanpa
banyak berfikir panjang, kugendong anak ini, ternyata tubuhnya berat juga,
perlu diketahui anak ini berkelamin perempuan, umurnya berkisar 5 tahun,
kugendong anak ini, kulewati tubuh-tubuh manusia ini dengan penuh semangat.
Otot-otot lenganku yang kukeraskan dengan otak yang juga berfikir keras.
Meskipun sesekali terdengar umpatan, makian karena tubuhnya terdorong olehku,
sekali lagi dalam batinku aku akui harus ada pengorbanan meskipun hanya dalam
sekecil ini, memasuki pintu kereta. Akhirnya dengan perjuangan yang bisa
kutelusuri adalah bentuk pengorbananku, aku bisa sampai ke dalam kereta.
Wajahku sekarang bingung mencari ibuk tadi, bukannya tadi kusuruh untuk
menunggu! Kenapa juga dia hilang “Ah! Kemana juga ibuk tadi pergi, anakmu
iniloh menangis dengan riangnya, belum lagi tangisannya sangat kencang! Sudah
diam dek, kakak juga pusing ini!”. Tiba-tiba didekat jendela, sebelah kanan
badanku ada tangan dan tubuh yang samar-samar mirip ibuk tadi, kuhampiri ibuk
itu, dengan dua langkah kedepan, dan dengan lekukan-lekukan alami yang secara
tidak sadar kulakukan! ternyata itu benar ibuk tadi! Dia sudah duduk dengan
kipasnya dan dengan air dinginnya. Sambil tersenyum lebar, memperlihatkan
giginya
“terima
kasih nak! Saya ucapkan terima kasih, dari pada tempat duduk ini full, akhirnya
saya berinisiatif untuk mencari tempat duduk dulu, kaki saya pegal, kepala saya
pusing nak!”
“Sewajarnya
seorang ibuk akan memikirkan anaknya terlebih dahulu, dunia ini memang sudah
gila ternyata, hal yang wajar dianggap tidak wajar, dan hal yang tidak wajar
dianggap wajar!. Ibu dengan santainya mengipas-ngipas badan yang sudah rentan
itu, anak ibuk ini menangis, masa depannya masih panjang, umurnya dan
barokahnya lebih baik dari pada ibuk!.” kubentak-bentak ibuk itu dengan sangat
keras, sehingga membuat wajah orang-orang dalam kereta juga melihatku,
memandangiku dengan sinis, dan seorang bapak yang kira-kira umurnya sekitar 50
tahun malah membentakku, menyalahkanku karena membentak orang yang sudah tua.
“Apakah
ini wajah dari muda-mudi Indonesia, bangsa ini memerlukan pemuda yang
berkualitas dan berakhlak tinggi, tidak sepertimu dek! Yang membentak-bentak
orang yang sudah tua, apalagi dihapan umum seperti ini.”
“Bapak
tahu apa tentang saya, bapak tidak tahu ujung permasalahannya, ibuk itu meninggalkan
anaknya, membiarkan anaknya menangis!, yang menjadi sebab kenapa aku
memarahinya, dan bapak tidak usah berbicara akhlak sebab tidak ada hal yang
baik di zaman sekarang, semua hal adalah kesalahan! Kita berbuat baik tetap
akan dipandang salah, begitu juga sebaliknya!. Wanita yang cantik belum tentu
cantik, wanita jelek belum tentu jelek, zaman sekarang semua harus dipikirkan
dengan otak!. Sedangkan ibuk ini hanya mementingkan dirinya sendiri, dia
membiarkan anaknya dipundakku, andaikan aku ini orang jahat sudah kuculik anak
ini dan kujual!, tapi aku kasihan dengan anak ini, dia menangis dan menangis.”
Bapak
itu tanpa bersuara pergi dengan gerakan cepatnya, wajahnya malu merah muda.
Kutarik nafasku untuk beberapa detik, kuhitung-hitung sampai 30 detik, ternyata
darahku masih normal, itulah ilmu yang kuperoleh dari dosenku. Tanpa banyak
basa-basi kuberikan anak itu ke ibuknya, denga dingin kuberikan anaknya,
disaksikan beribu manusia yang tertuju kepadaku. Aku merasa seperti dalam
keadaan sebagai pahlawan yang menyelamatkan anak manusia dari kejahatan dunia
ini. Tidak ada ucapan terima kasih dari ibuk itu, sudahlah kuanggap pahalaku
melebihi dewa sekarang.
Satu
meter melewati sang anak, yang melihatku dengan tepian rambutnya yang halus
sekali, terasa sekali tas gendongku ini berat. Kira-kira rasanya beribu kilo
gram beratnya, atau kurasa tubuhku ini yang enggan menerima rasa dari tasku.
Kucari-cari celah tempat duduk di kereta ini, rasanya aku melewati
tulang-tulang yang terbuat dari kera. Tubuh manusia yang rentan, tua, muda dan
masih banyak lagi. Aku merasa beberapa jendela kereta sudah rapuh olehnya,
kurasa sepatuku juga lecet oleh tinja-tinja kaki yang lain. Oh, betapa rapuhnya
tubuhku ini, penggalan kepala anak tadi masih terlihat, dia sudah sedikit nyenyak
dipangkuan ibunya tadi. Dan penggalan-penggalan kepala orang sungguh menarik
perhatian, ada yang menangis ada yang membaca Koran-koran yang beritanya
tentang kejadian hilangnya pesawat, ada juga yang sedang mendengarkan musik,
dan ada juga yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Kira-kira sudah 10 menit aku
mencari bingkai tempat duduk yang kosong, di depan, sebelah kiri jendela yang
bertuliskan anjing untuk masa depan, disitu badai menimpa orang-orang yang
membaca, dan tepat disebelahnya tempat duduk kosong, segera kuterobos tubuh
manusia-manusia yang enggan menyapa sesama, dan akhirnya tepat disebelah
kekosongan itu tubuhku sampai pada tempat yang dituju.
“Boleh
geser sedikit mbak?” ternyata sudah ada yang menempati, perlu di ingat jika
tempat duduk pada kereta ini terbagi dua dan saling berhadapan.
“Boleh
mas, silahkan duduk” dia sangat manis menurutku, dengan rambut yang terbelah
separuh, halus berwarna hitam pekat sangat mirip bidadari jawa yang sangat
menaati norma-norma kejawen yang halus. Dengan segera mbak ini bergeser, dia
menggeser tubuhnya dengan sangat sopan, “Silahkan mas” terimakasih dalam hatiku
untuknya, segera aku duduk dengan memangku tas yang berat ini. Tubuhku akhirnya
menerima referendum-referendum nilai yang mulai tidak adil. Akankah ada hal
yang menurutku tidak adil, itu sudah menurutku adil dan tidak adil menurut yang
adil.
Suara
kereta terdengar melangkah, batu-batu kerikil dibawahnya terdengar meletus kasar, menerima kemungkinan yang lain yang
meruntunkan doa-doaku yang hilang sementara. Bungkusan pepohonan dari kejauhan
mulai tampak, perjalanan yang akan menempuh kelelahan lain, aku adalah seorang
laki-laki dengan tubuh agak kurus, tinggi dan sedang menyimpulkan
gambaran-gambaran yang indah tentang dunia ini. Kurasa ada kemungkinan dalam
dunia ini yang tidak pernah terpikirkan, dibalik beribu kepala yang kulihat ini
aku merasa menjadi dari sejarah yang lalu, dan aku melihat pepohonan dari
kejauhan menyapa, walaupun aku melihatnya dari ujung jendela yang agak jauh.
Sedangkan wanita disampingku sudah mulai tertidur dengan alam mimpinya, dia
terlihat berkumis dengan tipis-tipis yang mendukung semua lelaki agar
menyukainya. Kereta ini tampaknya sudah berumur tua, atap yang mengapur dan
deretan debu yang agaknya bertebaran dihidungku. Kotor sekali, sampai-sampai
aku membayangkan jika ini adalah kereta kayangan yang sejak dahulu diceritakan
oleh mamaku dari dulu. Seketika aku kaget, ada sepenggal tangan menepuk
pundakku
“Sedang
memikirkan apa mas?” ternyata wanita disebelahku memandangiku, dengan
senyumannya. Aku kira dia sudah tertidur dengan mimpinya tadi.
“Tidak
mbak, aku hanya sedang mengamati apa yang ada diluar jendela itu, dan atap
kereta ini, sepertinya aku sedang menjadi detektif kampungan. Aku memang suka
berkhayal mbak, sejak dari kecil mamaku juga sering mendongengiku kisah-kisah
jawa mbak”. Aku menganggap diriku sejejar dengan orang-orang pintar yang sedang
dibaca orang di depanku, ada perkataan reformasi dan revolusi dari abdi Negara,
dan seketika aku meneruskan pembicaraan ini.
“Pikiranku
selalu merasa ada ketidakadilan mbak, disana-sini ada manusia yang selalu
mendahulukan individualnya, sedang tanpa disadari manusia itu sendiri melupakan
nilai-nilai sosial dalam hakikatnya mbak!”
“kurasa
semua yang mas katakan adalah kebenaran mas, dunia ini memang begini mas, tidak
ada kemungkinan dalam kemungkinan. Setidaknya kita ini mas, adalah manusia yang
sedang mencari kebenaran mas, lihatlah sekitar ini mas apa mereka berfikir sama
dengan mas ini? Tidak kan, yang ada bermacam pemikiran dari diri manusia mas”.
Perempuan ini sangat mengagumkan, ketika dia berbicara seperti putri Diana
bagiku, ah aku sedang berfantasi dengannya sekarang. Dan sedikit melupakan
orang-orang disekitarku, aku seperti dalam dongeng tidak terasa hawa yang panas,
keluh kesah tadi sudah kulupakan, dan beginilah hal yang kuinginkan.
Memungkinkan adalah hal yang semacam ini, diriku seperti berada dalam
ajaran-ajaran yang normal, ketika wanita ini berbicara seperti burung dara,
cantik dan rupawan.
“Memangnya
mas sedang kemana?, kalau boleh tahu siapa nama mas?” dengan senyum yang tetap
manis, wanita ini mengajukan pertanyaan yang berupa perumpamaan lain, aku
seketika saja meletakkan duapuluh jariku untuk menjawab dengan tegas
pertanyaannya.
“Namaku
aidan, aku keturunan jawa sunda mbak, ayah dan mamaku sudah merantau ke luar
negeri sejak aku kecil. Dan sejak saat itu aku diasuh oleh nenekku mbak. Neneku
sudah kuanggap pelindungku, bagaimana dia memeras susu sapi ketika pagi dan
menjualnya ketika pagi juga.” Dia kemudian bertanya lagi
“Mas
aku lihat-lihat sudah bekerja ya, kerja dimana?”
“Belum
mbak, aku belum kerja, masih sibuk dengan tumpukan kertas putih alias skripsi
akhir mbak, dan sepenggal-sepenggal imajinasiku selalu terenggut olehnya mbak!
Seperti Negeri ini mbak, yang selalu meluangkan waktunya ke dunia-dunia yang
hayal.” Akhir-akhirnya aku selalu meluangkan kisahku ke dunia yang rumit ini,
dan kedua kalinya wanita ini menunjukkan sikap bagai bidadari dunia.
“Mas
ini selalu berfikir tentang dunia ya, kuanggap ini adalah nilai plus dari
pemikiran mas, seolah-olah mas ini pengantar yang handal, menurutku itu adalah
bagian yang mas miliki dan harus diolah berdasarkan pengalaman yang objektif.”
Setelah itu wanita ini memperkenalkan dirinya tanpa aku suruh, dia menjulurkan
tangan putihnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus nan cantik dan rupawan, kutatap
sekitar ada manusia-manusia yang memojokkan matanya serupa burung hantu.
Kerlipan-kerlipan jendela kereta juga menjulang bening, ketika tiba-tiba air
hujan turun membasahi kereta ini, bunyinya keras sekali, udara tiba-tiba
dingin, suhunya kira-kira 25 derajat celcius. Sama seperti tangan wanita ini.
“Aku
ina mas, aku lahir di kepulauan batam, disana banyak sekali pasir-pasir laut
yang indah, dan disetiap senja datang aku sering melamun mas, betapa indahnya
Negara kita ini. Sama dengan masnya, akus sering berkhayal tentang negeri di
atas awan, dengan berjuta rerumputan tumbuh disekitar ilalang atau memuja
patung disebelah monumen kotaku. Bagaikan mimpi mas, semenjak aku lahir sampai
sekarang aku tidak pernah melihat tubuh manusia mas, yang sering kulihat berupa
pahatan-pahatan dalam mimpi, kecuali aku sendiri yang memulainya mas”
Kami
terus berbincang, mengenai kisah dan kepiluan hidup masing-masing. Rasaku
menyatu dengannya, tanpa disadari oleh keheningan hujan dalam kereta ini, mata
saling berbincang, udara saling menghirup dan kepiluan menjaga waktu menuju
senja yang tiba. Kereta ini akan berhenti di kota Surabaya, disana kami akan
memulai hidup yang lain, berpisah dan bertemu. Perjalanan ini membutuhkan 1
hari setengah untuk tiba di Surabaya, kenikmatan yang mulai ada dihatiku.
Aku
pikir, perjalananku sungguh ajaib, tak terasa orang-orang disekitarku sudah
mulai tidur, mereka menaruh kepala kesandaran jiwanya masing-masing, jendela
masih saja menunjukkan kepiluan arti, dan aku masih saja bercerita dengan
wanita bernama ina ini, sepertinya hujan mulai menindihkan perjalanku, semakin
lebat hingga atap kereta tua ini meneteskan air tuban ibunya sendiri, asin
rasanya. Baju ina juga terkena, akhirnya
terlihat sedikit lekukan tubuhnya itu, ini yang membuatku merasa tidak enak,
kutawari jaketku padanya, dan dia hanya tersenyum, menyapaku dengan senyuman
itu sangat membuatku terbuai. Sekali lagi aku merasa disekitarku ini hanya
boneka-boneka mainan, aku sudah lupa akan ibuk tadi dan anaknya yang menangis,
seolah kejadian itu bukan di kereta ini. Akhir dari kesedihanku dalam hidup ini
hilang ketika aku duduk disamping ina, dia kuanggap penderitaanku sendiri. Dan
dengan sangat kaget tiba-tiba dia memegang tanganku, dengan lembut dan mesra.
“Mas,
ketika daun disekitar jendela kereta ini hancur dan menimpa wajahku, apa yang
akan mas perbuat?” pertanyaan yang aneh bagiku sebab, terkesan tiba-tiba dan
mengada-ngada. Kujawab juga dengan seadanya, itu terkesan jujur tulus dan lugu.
“Akan
kusingkirkan, dan seketika ku-usap wajahmu itu dengan seribu bunga”
“Sangat
puitis bahasamu mas, aku tidak begitu mengerti” genggaman tangannya, semakin
erat. Kukuku diremasnya menjadi beberapa bagian, tulang bahuku disandarkannya
kepalanya. Dan sekujur tubuhku dipeluknya. Aku tidak lagi melihat orang
dikereta ini, semua hilang, jendela, Koran-koran, kebisingan dan tangisan
memuja hujan yang juga hilang. Yang ada hanya kami berdua, berpelukan dengan
hangatnya.
“Ina,
apakah ini hanya mimpiku?” kubertanya selagi hal yang ingin kutanyakan masuk
akal, sebab kejadian ini serba tidak masuk akal.
“Tidak
mas, ini adalah kenyataan, dan kenyataan ini merasuki pikiranmu, kita sedang
berdua, di dalam kereta yang sepi dan penuh cinta ini”
“Bukankah,
tadi sangat banyak orang berhamburan, dengan beribu kepanasan, dan kerah-kerah
baju yang kotor karena angin?”
“Itu
hanyalah ilusi mas saja, kita sudah beberapa jam berdua, dengan kepulan hujan
yang semakin membuatku ingin memeluk mas, jangan pernah berfikir macam-macam
mas!”
Aku
terasa nyaman dengan keadaanku sekarang, dimana kereta yang panas berubah sejuk
dan menyenangkan, beribu taman bunga didepanku, dan jendela itu berbuah menjadi
rangkaian gunung-gunung rimbun. Di depanku berbuah sayuran dan taman dengan
lampu-lampu ditumbuhi karangan-karang cinta lain. Sedangkan aku masih duduk
disamping ina, hanya menyelundupkan dua belas tangan dan kepala yang tengkurap
dielusnya. Rasanya seperti pijatan dewi langit, halus dan begitu nikmat, hujan
tetap saja menundukkan ina kedalam wujud wanita dengan senyum, rambutnya
terbelah ke wajahku, baunya harum, ranum bagaikan siraman kembang bunga. Aku
ingat kisah bidadari yang dahulu sering diceritakan mamaku, dia sering
tersenyum dengan gigi putih, bahu sejajar layaknya minuman anggur. Aku dengan
sengaja mengamati semua tubuhnya, tidak ada kekurangan sedikitpun. Aku anggap
ini sesajian atau nilai plus dari kereta ini.
Kira-kira
jam tanganku menunjukkan pukul 17.30, hujan mulai redah, ratapan kereta mengulangi
masa lampau dengan enaknya, bunyi-bunyi kerikil dibawah hanyut seperti air.
Tasku sudah pindah keatas tempat rak. Orang-orang tetap saja tidur, dengan
beribu tas dan berdirinya orang-orang tadi juga sudah hilang, aku merasa asing
dengan ini semua, percikan jendela itu menuliskan aku cinta kamu, berjuta
karangan bunga menerpa mukaku. Kulihat juga ina, dia tertidur, bunyi kereta
masih saja senyap, hujan menampakkan hilangnya. Aku terheran bagaimana kereta
ini bagai sorga yang turun untukku. Karena merasa asing kucoba membangunkan
ina, dengan sabar dan kucubit kulitnya akhirnya dia terbangun, memandangiku
dengan sayu, sembari berkata.
“Ada
apa mas?”
“Kita
ini berada dimana?, aku asing dengan ini? Aku merasa seperti tidak ada dalam
kereta?”
“Mas
ada-ada saja, kita sedang menuju Surabaya untuk menjenguk perjumpaan yang lain,
sama halnya ketika mas bercerita tentang Negeri ini. Penuh kerumitan mas!”
“Aku
merasa terbuat tercengang denganmu, aku ingat saat ibuku bercerita tentang
dongeng, ibuku bilang jika menjelang mangrib banyak kejadian-kejadian aneh,
mulai bermimpi, melihat awan yang berbentuk segitga bujur sangkar, dan yang
paling mengerikan melihat hantu!, itu dongeng yang sering ibu ceritakan, entah
percaya atau tidak, aku hanya menganggapnya dongeng belaka”
“Jika
itu benar bagaimana mas?” Ina menundukkan kepalanya, kembali lagi senyuman itu
membuatku tertarik padanya, segala yang berubah ini bagai hilangnya kapal
pesiar dilautan bebas. Ina menarik nafas dalam-dalam, kepulan dadanya
terselubung melewati batas bajunya, aku hanya bisa diam meratapi kejadian yang
ada dihadapanku, mulai dari kancing baju, celana , dan ribuang hektar rambutnya
yang terkulai lemas, dia memelukku, sembari mengucapkan salam perpisahan. Aku
ingin mengatakannya juga, tapi ada sesuatu yang menghalangiku yaitu sebuah
tembok besar yang tiba-tiba datang dalam atap kereta ini. Kuhimpun kewajaran
dan ina tiba-tiba menghilang, sekejab bagaikan debu diterjang angin topan, aku
kaget untuk sekejap kembali melihat atap kereta yang tiba-tiba memuncratkan
keringat tubuhku! Dimana aku, aku bingung, keadaan tiba-tiba panas lagi, dan
kebisingan mulai menyeruak dalam benakku. Apa ini, disebelahku tiba-tiba ada
anak kecil tadi, dan didepanku ada dua sosok perempuan setengah baya membaca
Koran, yang bacaanya tentang lika-liku Negeri ini. Dan disamping tempat dudukku
berjubelan orang-orang mengangkat tangannya untuk mencari gelantungan. Aku
lihat jam dan masih sekitar jam 14.00 wib, segera kubertanya kejadian aneh ini,
ke perempuan yang ada di depanku
“Permisi
kemana wanita yang duduk disebelahku tadi buk?”
“Wanita
yang mana mas?Dari tadi mas tidur dengan nyenyaknya, bergumam dan sering
mengepalkan tangan mas sendiri?” aku kaget dengan jawaban ini, aku segera
bertanya lagi. “Apakah kereta sudah berangkat buk?” si Ibu itu akhirnya menaruh
lembar Korannya dan menjawab dengan tegasnya.
“Kereta
belum berangkat mas! Tidak tahu ini, bagaimana mau maju jika dalam waktu saja
tidak tepat!”
Akhirnya
aku sandarkan lagi tubuhku, menyekap keringat, melihat sekitar. Tas ada
didepanku, atap masih karatan, bajuku penuh keringat, dan tiba-tiba anak kecil
disampingku bilang, “Wanita yang bernama ina itu sudah pergi kak, dari ujung
jendela itu, dan menitipkan bunga mawar dalam ingatan kakak” kemudian kereta
berangkat menuju Surabaya yang hangat akan debu, bingung dan pergi.
Bangkit W Prayogo, Majalah Indeks__Cerpen
0 komentar:
Posting Komentar