Kamis, 03 September 2015

URANIUM



Uranium
Puing-puing darah luntur memakan sisa daging awan yang mendung, dan langit-langit runtuh menurunkan ujung pedang bernanah dari seberang jembatan sorga. Sedang kelopak-kelopak mata anak-anak hancur, melebur, tersusun bagai butir pasir panas yang dipanggang dengan api membara, dan udara-udara pengab, tak bisa bernafas sebab darah-darah meluncur dari atas sebuah roket. Menghujam, melumat, menendang paru-paru tak bernyawa dengan sebilah panah dan pedang yang turun di seberang hati. Itukah kehendak mimpi dari secuil harapan senyum lirih milik kita sendiri?

Pohon memohon, budak-budak terlempar dari sarangnya sendiri. Sebab beribu-ribu perempuan mulai berjalan telanjang, dengan tangan-tangan memikul tanah, dari sebuah gedung tua yang tak bernyawa. Dan lihatlah burung gagak melumat daging anaknya, memakannya, menciumnya dengan sebongkah hati busuk milik cairan bumi. bumi yang kelak akan murka melihat tangan-tangan tergeletak di atas sungai, sampai cairan darah membusuk bagai kembang api di tiap tahun baru. Pernahkah bumi melihat senja turun dengan seribu malaikat tanpa kepala dan badannya? Anak-anak sedang turun dari jembatan yang indah, melewati kokok ayam milik dirinya, memangkul boneka dan robot-robot tak berhenti-henti tersenyum.

Dan uranium enggan untuk memajang sebuah lukisan darah dengan kepala yang terbelah dua, sebab roket-roket meluncur menembus awan dan udara dari segala arah air mata. Kuning dan abu-abu angin ini duduk bersebelahan sedang bertarung dengan cakar-cakar tuhan yang tumpul. Dan berharap jika surya datang melihat matanya, maka datanglah kehangusan, datanglah gumpalan daging rusa yang polos berbusa.

Sehingga sejenak memandang ranting-ranting pohon berguguran dari seberang jembatan rapuh yang duduk dan sendiri. Sehingga buah-buah yang terbang mengangkasa akan rapuh, akan duduk terselubung mencium dataran tandus, gersang dan ingin berucap semesta alam yang hilang.

Haraplah kau pahami jika sayap kelelawar hitam turut berpesta menghujam kening-kening anak kecil di ujung gedung, di ujung hati dan sebuah kumis tergulung sunyi nan merdu, sebab hati pun lelah untuk bertarung dengan dua belas tembakan pistol yang datang dari awan mendung yang hitam. Kalian tau, luka dan duka yang berdebu akan terbang bagai atom-atom berhembus melewati udara tandus dan berharap jika api turun menyertai gemuruh teriakan penghabisan, menyerah, menahan pilu yang mesra.

Bangkit Prayogo