Kamis, 07 Mei 2015

UMBERTO ECO ATAU KEMATIAN MAKNA

  Umberto eco, maestro semiotik yang dia sendiri tidak mau mengatakannya sebagai maestro, begitulah Eco sapaan akrab menurutku. Ketika dia sedang berjalan pada “teks” sejak dia sudah ingin menggeluti bidang filsafat maka dia akan dengan sengaja mengajak otaknya untuk sekedar mendeskripsikan “teks” itu sendiri. Maka secara lebih dalam Eco mendahulukan kemajuan pada bidangnnya dibandingkan sesuatu yang dia sendiri tidak “menyukainya”. Dalam banyak hal ada kesamaan Eco dengan pendahul-pendahulunya yang memang tetap beranggapan jika sesuatu itu adalah “teks” dunia tidak akan lepasa dari “bahasa” sebagai dominasi normal.

Dalam beberapa perjalananya, Eco menganggap “teks” sebagai pendahulu sebelum adanya makna. Makna ada ketika ada “teks” dan begitu juga sebaliknya. Penalaran-penalaran semacam itu tidak terduga menghadirkan paham “semiotika Eco”, yang mengkaji makna sebagai ke-utuhan totaliter yang akan dibutuhkan untuk kepentingan yang besar. Sebagai pendahulunya semacam “Charlers sendiers Pierce” yang menganggap dunia teks adalah dunia imajinasi yang akan mengantarkan simbol-simbol baru pada makna. Demikian juga Eco yang telah mengukur secara rinci kekuatan diskriptif struktural yang anti “dekon”. Artinya adalah sebagai totaliter yang utuh Eco juga menganggap jika suatu “teks” ada maka “teks” tersebut juga akan ada sebagai “mati”,. Mengarahkan seluruh “teks” kepada makna.

“Faoucault's Pendulum” salah satu judul Novel Eco yang memang mengutamakan kesatuan cerita sabagai keutuhan makna. Permainan “teks” jelas menjadi keunggulan yang tidak dapat dibantah. Ada semacam gambaran dalam Novel tersebut jika alur tidak utuh adalah tidak penting, kepentingan yang sangat penting lebih kepada “teks” yang kita tulis sendiri.  Sehingga tampak jelas jika pada tulisan-tulisan Eco terutama pada “Foucault’s Pendulum” telah mendefiniskan semiotik baru yaitu bermain pada proses “teks” menjadi “makna yang terbatas”. Definisi-definisi ini tidaklah juga perlu diperdebatkan, sebab keingingan untuk mendebatkan juga tidak penting di bahas.

Kesatuan__isi cerita dalam Novel tersebut menggambarkan jika Eco tidak mendefiniskan makna secara “besar” dengan “besar yang “utuh”. Di dalam takarannya Eco menganggap kesatuan atau stimulus program “teks” ditentukan oleh “teks” itu sendiri, sehingga “teks” akan mematikan “makna” untuk digambarkan secara tidak utuh.  Hal yang serupa terjadi pada Novel-nya “The name orf the rose”, kesatuan makna seakan ditelan oleh “teks” itu sendiri. Makna agaknya tidak menjadi penting menurut Eco, sebagaimana pengamalan dunia__Hamlet menundukkan ayahnhya sendiri, bukan permasalahan inti dalam cerita tersebut atau “makna”, makna tidak akan ada sebelum “teks” akan ada__menyudutkannya.

Kekacauan atau apapun tidak mungkin terjadi tanpa “teks”, makna sebelumnya hanyalah nilai-nilai tidak “utuh” yang dibuat semacam “obat” mengalahkan “teks”, kematian makna telah akan terjadi setelah “teks” bermain pada ruang imajinasi. Makna-makna atau jalan yang telah di pahat atau semacam-nya mungkin didasari dengan pengalaman untuk menulis. Satuan “teks” juga akan memengaruhi “makna” dalam tulisan. Umberto Eco- mendalami sebuah “makna” hanya untuk mendalami “teks” untuk jalan menuju “proses” itu sendiri. Mungkin dia sedang duduk dengan menghayati “teks-teksnya” dan mendefinisikan “makna” dalam teks tersebut. Dia___menunggu “teks tidak menjadi makna”.

Bangkit prayogo___Majalah Indeks, Edisi ke__6

0 komentar:

Posting Komentar