TEORI STRUKTURALISME
Teori Strukturalisme
A. Pendahuluan
Tujuan
ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan teori yang masuk akal dan
dapat dipercaya. Hanya dengan berteori, pertanyaan-pertanyaan dasar
mengenai situasi social yang ada di dalam kehidupan manusia dapat
dijawab. Karena itu, sebelum berbicara tentang teori-teori sosiologi,
maka ada baiknya kita uraikan secara singkat terlebih dahulu tentang
pengertian teori, fungsi teori serta pengklasifikasian teori sosiologi.
B. Pengertian Teori
Menurut
Turner teori merupakan proses mental untuk membangun ide sehingga
ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi (Sunarto, 2000:
225). Sedangkan Kornblum mengemukakan bahwa teori merupakan seperangkat
jalinan konsep untuk mencari sebab terjadinya gejala yang diamati.
Dalam proses pencarian sebab ini, ara ilmuwan membedakan antara faktor
yang dijelaskan dengan faktor penyebab.
Menurut
Soerjono Soekanto (2000: 27), suatu teori pada hakikatnya merupakan
hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut
cara-cara tertentu. Fakta merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada
umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu dalam bentuk yang
paling sederhana, teori merupakan hubungan antara dua variabel atau
lebih yang telah diuji kebenarannya.
Bagi seseorang yang belajar sosiologi, teori mempunyai kegunaan antara lain untuk (Zamroni, 1992: 4):
1. sistematisasi pengetahuan;
2. menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol social
3. mengembangkan hipotesa
C. Teori Sosiologi
Dalam
sosiologi ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori.
Ritzer dalam buku Teori Sosiologi Modern Edisi ke-6 (2006) meskipun
tidak menyebutkan secara eksplisit, namun dalam karyanya itu dapat
dilihat klasifikasi berdasarkan pada urutan waktu lahirnya teori
sosiologi. Klasifikasi yang hampir sama juga dilakukan oleh Doyle Paul
Johnson (1986) dalam bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Ritzer
dalam bukunya membagi sebagai berikut:
1) Teori Sosiologi Klasik (Sosiologi Tahun-Tahun Awal)
Periode
ini ditandai oleh munculnya aliran Sosiologi Perancis dengan
tokoh-tokoh: Saint-Simon, Auguste Comte, dan Emile Durkheim. Sosiologi
Jerman dengan tokoh-tokoh: Karl Marx, Max Weber, dan Georg Simmel.
Sosiologi Inggris yang dipelopori oleh Herbert Spencer. Serta Sosiologi
Italia dengan tokoh Vilfredo Pareto.
2) Teori Sosiologi Modern.
Teori-teori
ini merupakan pengembangan dari aliran-aliran Sosiologi Klasik.
Aliran-aliran utama dalam teori sosiologi modern ini meliputi: Sosiologi
Amerika, Fungsionalisme, Teori Konflik, Teori Neo-Marxis, Teori
Sistem, Interaksionisme Simbolik, Etnometodologi, Fenomenologi, Teori
Pertukaran, Teori Jaringan, Teori Pilihan Rasional, Teori Feminis
Modern, Teori Modernitas Kontemporer, Strukturalisme, dan
Post-Strukturalisme
3) Teori Sosial Post-Modern.
Aliran
teori ini merupakan kritik atas masyarakat modern yang dianggap gagal
membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan. Para teoritisi yang
tergabung dalam aliran ini antara lain: Michael Foucoult, Jean
Baudrillard, Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, Jacques Lacan,
Gilles Deleuze, Felix Guattari, Paul Virilio, Anthony Giddens, Ulrich
Beck, Jurgen Habermas, Zygmunt Bauman, David Harvey, Daniel Niel Bell,
Fredric Jameson.
D. Strukturalisme
Teori
Strukturalisme termasuk teori Sosiologi Modern dan juga Post Modern,
karena dalam perkembangannya, teori ini terus dikembangkan dan menjadi
teori Post Strukturalisme. Walaupun teori ini jelas memusatkan
perhatiannya pada struktur, tetapi tidak sepenuhnya sama dengan struktur
yang menjadi sasaran perhatian teoritisi Fungsionalisme Struktural
(salah satu teori Sosiologi klasik). Perbedaanya pada tekanannya, yaitu
Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya pada struktur sosial,
sedangkan Teori Strukturalisme memusatkan pada struktur linguistik
(Ritzer, 2004 : 603).
Strukturalisme
merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok
pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur
yang sama dan tetap.
Ciri
khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual
obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang
tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau
unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme
menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek
(hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap
tingkat) (Bagus, 1996: 1040)
Gagasan-gagasan
strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan
studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam
mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi
introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan
menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada
status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040)
a. Ferdinand de Saussure
Untuk
mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk
menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang
sebagai bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang
mengungkapkan strukturalisme.
Banyak
hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak
strukturalisme. Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai
bapak linguistik yang ditunjukkan dengan mengadakan perubahan
besar-besaran di bidang lingustik. Ia yang pertama kali merumuskan
secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan
untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat,
dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan bahwa linguistik
adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa,
juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap.
Menurutnya
ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke
dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa. De Saussure
mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan,
dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang
bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda
kemiliteran dan lain sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting
dari sistem-sistem ini. Jadi kita dapat menanamkan benih suatu ilmu yang
mempelajari tanda-tanda di tengah-tengah kehidupan kemasyarakatan; ia
akan menjadi bagian dari psikologi umum, yang nantinya dinamakan oleh
de saussure sebagai semiologi. Ilmu ini akan mengajarkan kepada kita,
terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah mana yang mengaturnya.
Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan bagaimana
ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih
dahulu. Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah
yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik
dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu
dalam keseluruhan fakta manusia.
Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:
1. Diakronis
dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat
dilakukan secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga
secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur
yang sezaman)
2. Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual.
3. Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif):
sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan
paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak
hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem).
4. Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified).
Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak
terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai
contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar dalam pikiran
kita konsep rumah.
Strukturalisme
termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme
mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam diri manusia.
Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep
hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda (termasuk didalmnya
upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga
membentuk sistem bahasa. Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan
sehari-hari juga mengenai proses kehidupan yang ada dalam kehidupan
manusia, dianalisa berdasarkan strukturnya melalui petanda dan penanda,
langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta diakronis dan
sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa
struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.
Dalam
memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip
dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang
penting dalammemahami kebudayaan, yaitu:
1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda).
Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau
konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas
tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang
keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar.
2. Gagasan
penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak
adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature.
Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna
tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda
lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin
manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan
bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau
kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.
3. Permasalahan
yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah
hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure
ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue
pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti
kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak,
komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar.
Gagasan
kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem
struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental
yang mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat
berperilaku dan bertindakj sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan
dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya.
b. Pierre Bourdieu
Bourdieu
pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah
pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan
eksistensialisme, terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis
Althusser.
Pada
tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan
membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara
pendekatan teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang
dituangkan dalam buku yang berjudul ”outline of a theory of practice”
dimana didalamnya ia memiliki posisi yang unik karena berusaha
mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi tersebut.
Dalam
karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang menciptakan
obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial
sebagai pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan
tindakan-tindakan praktis dalam kehidupan sosial.
Kelebihan
Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang
mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan
sebelumnya. Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal
usul dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab
persoalan-persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran-pemikiran
terdahulu.
Terdapat
3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan
Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan
dijelaskan interaksi ketiga konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah
“struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi
kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang
diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami,
menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor
memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis
habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan
kata lain habitus dilihat sebagai ”struktur sosial yang
diinternalisasikan yang diwujudkan”.
Habitus
mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur,
jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai
akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus
berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang
dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang
menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai
kebiasaan yang sama.
Habitus
lebih didasarkan pada keputusan impulsif, dimana seorang individu
bereaksi secara efisien dalam semua aspek kehidupan. Habitus
menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus
adalah struktur yang menstruktur artinya habitus adalah sebuah struktur
yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak habitus adalah
struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang
distruktur oleh dunia sosial.
Habitus
menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur
dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam
berbagai cara, yaitu:
1. Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup)
2. Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)
3. Sebagai perilaku yang mendarah daging
4. Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)
5. Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis
6. Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang karier.
Habitus
membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan,
keterampilan, rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang
lebih rendah. Bagi Bourdieu keluarga dan sekolah merupakan lembaga
penting dalam membentuk kebiasaan yang berbeda.
Field
bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field
adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan
hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field
bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara
individu. Penghubi posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan
penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan.
Bourdieu
melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah
yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi
tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk
memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi
produk mereka sendiri. Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana
berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan
disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat
penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik
membantu menata semua lingkungan yang lain.
Bourdieu
menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama,
menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah kedua,
menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam
lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri
kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
Dengan
kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni,
industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para
pelakunya berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.
Bourdieu
menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena modallah
yang memungkinkan orang untuk mengendalikan orang untuk mengendalikan
nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.
Ada
4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan
sosial dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang
menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa
hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi
kepentingan sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari
kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah modal budaya yang
memiliki beberapa dimensi, yaitu:
1. Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya
2. Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi
3. Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)
4. Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.
5. Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik dan buruk.
Modal
kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam
diri seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan
dijelaskan hubungan ketiga konsep tersebut.
Habitus
dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya
Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan
simbolik, strategi dan perbuatan beserta beragan jenis modal.
Seperti
telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif yang
menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur
subyektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan
individu lain dalam jaringan struktur obyektif yang ada dalam ruang
sosial. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia
lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu,
dengan kata lain habitus adalah hasil pembelajaran lewat pengasuhan,
aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat. Pembelajaran ini
berjalan secara halus sehingga individu tidak menyadari hal ini terjadi
pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan.
Habitus
mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi
obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran
individu. Field semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari
mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan
masyarakatyang terbentuk secara spontan.
Habitus
memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan
melakukan hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses
interaksi dengan pihak luar tersebut terbentuklah Field.
Dalam
suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu yang
memiliki banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas
sudah di singgung bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan,
suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam field dimana di dalam
setiap field menuntut untuk setiap individu untuk memiliki modal gara
dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya.
Secara
ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis
sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu dan
struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.
c. Levi Strauss
Dalam
konsep Strukturalisme Levi-Strauss, struktur adalah model-model yang
dibuat oleh ahli Antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala
kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena
empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60). Meskipun bertolak
pada linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada
makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Oleh sebab itu Sarah Schmitt (1999) menyatakan, “Levi-Strauss
derived structuralism from school of linguistics whose focus was not
on the meaning of the word, but the patterns that the words form.”
Strukturalisme
Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary
opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran
manusia dan juga kebudayaannya. Seperti kata-kata hitam dan putih. Hitam
sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan
putih dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain.
Contoh lain adalah kata rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih
istimewa dan diasosiasikan dengan laki-laki. Sementara emosional
dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan.
Semua
konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan
persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan
adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara bahasa dan budaya,
Levi-Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Levi-Strauss
sangat tertarik pada logika mitologi. Itu sebabnya ia mulai dengan
mitos, menggabungkan fungsi-fungsi hanya secara vertikal, dan mencoba
menerangkan paradigmatik mereka yang tumpah-tindih dengan varian-varian
mitos. Model strukturalnya tidak linier (Meletinskij, 1969 dalam
Fokkema, 1978). Untuk mengetahui makna struktur dalam bidang Antropologi
Levi-Strauss, perlu diketahui terlebih dahulu prinsip dasar dari
struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah
bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris,
melainkan dengan model-model yang dibangun menurut realitas empiris
tersebut (Levi-Strauss, 1958; 378). Bangunan dari model-model itu yang
akan membentuk struktur sosial.
Menurut Levi-Strauss (1958) ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial;
1. Sebuah
struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas
elemen-elemen seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya
akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.
2. Seluruh
model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana
masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama,
sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.
3. Sifat-sifat
yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk
memperkirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi
salah satu dari sekian elemennya.
4. Model
itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga kegunaannya
bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.
Lahirnya
konsep Strukturalisme Levi-Strauss merupakan akibat dari ketidakpuasan
Levi-Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme (Fokkema,
1978). Masalahnya para ahli Antropologi pada saat ini tidak pernah
mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan
kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul ”Trites
Tropique” (1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan
dengan model linguistik seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de
Saussure, bukan seperti yang dikembangkan oleh Bergson. Karena bagi
Bergson tanda linguistik dianggap sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang
merusak impressi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan
mudah rusak (Fokkema, 1978). Bagi Levi-Strauss telaah Antropologi harus
meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. Levi-Strauss
memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia
tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang
digunakan. Oleh karena itu akan terdapat kesamaan konsep antara bahasa
dan budaya manusia. Singkatnya Levi-Strauss berkeyakinan bahwa untuk
mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan
melalui bahasa.
Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik (Levi-Strauss, 1972 dalam Fokkema, 1978).
Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik (Levi-Strauss, 1972 dalam Fokkema, 1978).
Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua,
menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan.
Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan, maka bahasa adalah
bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat juga
pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai
unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika
kita membahas mengenai kebudayaan, kita tidak pernah bisa lepas dari
pembahasan bahasa (lihat, Koentjaraningrat, 1987). Ketiga,
menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata
lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat
yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan
bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Berikutnya,
bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan
untuk membangun bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe
dengan apa yang ada pada kebudayaan itu sendiri. Hubungan atau
korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models
(Ahimsa, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda pada
tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan. Seperti yang
disebutkan oleh Levi-Strauss (1963), korelasi sistem kekerabatan
orang-orang Indian di Amerika Utara dengan mitos-mitos mereka, dan dalam
cara orang Indian mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi
semacam ini sangat mungkin terdapat pada kebudayaan lain.
Antropologi
mengalami perkembangan pesat setelah dikembangkan dengan model
linguistik, terutama setelah diakuinya bidang Fonologi atau ilmu tentang
bunyi dalam bahasa (Fokkema, 1978). Namun demikian, perlu juga
diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara sifat keilmuan Fonologi
dengan apa yang ada dalam Antropologi/Sosiologi. Levi-strauss mengakui
bahwa analisis yang benar-benar ilmiah harus nyata, sederhana, dan
bersifat menjelaskan (Levi-Strauss, 1972, dalam Fokkema, 1978).Tetapi
hal itu agak berbeda dengan apa yang ada dalam Antropologi.
Antropologi/Sosiologi bukan bergerak dari hal-hal yang kongkret,
analisis Antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan, manjauhi yang
kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan akhirnya
hipotesisnya tidak menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asal-usul
sistem itu sendiri. Antropologi/Sosiologi berurusan dengan sistem
kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda,
sistem “terminologi” dan sistem “sikap”. Fonologi bisa diterangkan
secara ekskulsif dalam sistem persitilahan; ia tidak perlu
memperhitungkan segala “sikap” sumber sosial atau sumber psikologis,
tetapi bagaimana manusia mengucapkan vokal.
Asumsi dasar nalar manusia (human mind) adalah sistem relasi (system of relation). Kebudayaan dan bahasa berposisi sejajar karena keduanya merupakan hasil dari nalar manusia. Antropolog Levi-Strauss bertujuan menemukan model bahasa dan budaya melalui strukturnya. Pemahaman terhadap pikiran dan perilaku kehidupan manusia, serta relasi manusia dengan tradisi sangat penting. Kebudayaan adalah produk atau hasil aktifitas nalar manusia yang memiliki kesejajaran dengan bahasa dan tradisi. Tradisi adalah sebuah jalan bagi masyarakat untuk memformulasikan dan memperlakukan fakta-fakta dasar dari eksistensi kehidupan manusia. Tradisi adalah tatanan transendental sebagai pengabsah tindakan dan juga sesuatu yg imanen dalam situasi aktual dan bersesuaian dengan konteks bersifat dinamis (J.C. Hastermann). sebagai contoh: Konsensus manusia tentang persoalan kehidupan dan kematian merupakan suatu tradisi yang penuh dengan simbul dan tradisi, oleh karena itu selalu dengan upacara yang berbeda menurut pemahaman suatu suku atau pemeluk agama tertentu. Di Bali, misalnya ketika persiapan menguburkan mayat, selalu daiadakan pesta dan upacara kematiannya penuh dengan kegembiraan, apalagi ketika upacara pembakaran mayat, sedangkan upacara kemaian pada pemeluk Islam, dipenuhi dengan kesedian dan bahkan dilarang sama sekali memasak makanan pada komunitas Islam tertentu.
Dalam
hal ini pengaruh pemikiran tokoh-tokoh terhadap strukturalisme
Levi-Strauss cukup besar. Levi-Strauss Strauss belajar metode
komparasi tentang geologi masyarakat (Marx) untuk menemukan geologi
psikis (Freud) dan bagaimana pola umum objek dalam menjelaskan gejala
yang tersembunyi. Kajiannya berupa relasi antara keilmuan yang
inderawi dan yang linguistik rasional yang dilakukan oleh Fredinand
de Saussure (1857-1913), ahli bahasa Swiss yang membangun
Strukturalisme dari sudut ilmu bahasa struktural yg akhirnya menjadi
teori Strukturalisme itu. Bahasa adalah sistem tanda (sign). Suara
dapat dikatakan sebagai bahasa jika dapat mengekspresikan, menyatakan
atau menyampaikan ide atau pengertian tertentu. Elemen dasarnya adalah
kata-kata. Jadi ide tidak ada sebelum adanya kata-kata. Suara yang
muncul dari sebuah kata adalah ”penanda” (signifier), konsep suara tersebut adalah ”tinanda” (signified).
Contoh: Jaran, kuda, horse adalah ”penanda”. Sedangkan ”binatang
berkaki 4 (empat) & berlari kencang adalah ”tinanda”. Hubungan
antara penanda & tinanda disebut ”arbiter”. Tinanda dari sebuah
penanda dapat berupa apa saja, tergantung dari relasinya. Menurut Fredinand de Saussure konsep bentuk (form) dan isi (content)
penanda dan tinanda selalu memiliki bentuk dan isi. Isi bisa berubah,
namun bentuknya tidak. Untuk dapat mengetahui kekhasan bentuk (distinctive form)
ialah dengan mengenali perbedaan satu kata dengan kata yang lain
(differensiasi sistematis). Sebagai contoh: babu, tabu, sabu, jelas
sekali walaupun fonemnya hampir sama, tetapi artinya sangat berbeda,
karena perbedaan sistimatis tersebut. Saussure juga membedakan antara
konsep “langue” & “parole”. Langue adalah sistem tata bahasa formal;
sistem elemen phonic yg hubungannya ditentukan oleh hukum yg tetap. Sedangkan parole
adalah percakapan sebenarnya, yaitu cara pembicara mengungkapkan
bahasa untuk dirinya sendiri dalam rangka berkomunikasi dengan orang
lain. Adanya langue menyebabkan adanya parole.Asumsi dasar nalar manusia (human mind) adalah sistem relasi (system of relation). Kebudayaan dan bahasa berposisi sejajar karena keduanya merupakan hasil dari nalar manusia. Antropolog Levi-Strauss bertujuan menemukan model bahasa dan budaya melalui strukturnya. Pemahaman terhadap pikiran dan perilaku kehidupan manusia, serta relasi manusia dengan tradisi sangat penting. Kebudayaan adalah produk atau hasil aktifitas nalar manusia yang memiliki kesejajaran dengan bahasa dan tradisi. Tradisi adalah sebuah jalan bagi masyarakat untuk memformulasikan dan memperlakukan fakta-fakta dasar dari eksistensi kehidupan manusia. Tradisi adalah tatanan transendental sebagai pengabsah tindakan dan juga sesuatu yg imanen dalam situasi aktual dan bersesuaian dengan konteks bersifat dinamis (J.C. Hastermann). sebagai contoh: Konsensus manusia tentang persoalan kehidupan dan kematian merupakan suatu tradisi yang penuh dengan simbul dan tradisi, oleh karena itu selalu dengan upacara yang berbeda menurut pemahaman suatu suku atau pemeluk agama tertentu. Di Bali, misalnya ketika persiapan menguburkan mayat, selalu daiadakan pesta dan upacara kematiannya penuh dengan kegembiraan, apalagi ketika upacara pembakaran mayat, sedangkan upacara kemaian pada pemeluk Islam, dipenuhi dengan kesedian dan bahkan dilarang sama sekali memasak makanan pada komunitas Islam tertentu.
0 komentar:
Posting Komentar