Kamis, 03 September 2015

URANIUM



Uranium
Puing-puing darah luntur memakan sisa daging awan yang mendung, dan langit-langit runtuh menurunkan ujung pedang bernanah dari seberang jembatan sorga. Sedang kelopak-kelopak mata anak-anak hancur, melebur, tersusun bagai butir pasir panas yang dipanggang dengan api membara, dan udara-udara pengab, tak bisa bernafas sebab darah-darah meluncur dari atas sebuah roket. Menghujam, melumat, menendang paru-paru tak bernyawa dengan sebilah panah dan pedang yang turun di seberang hati. Itukah kehendak mimpi dari secuil harapan senyum lirih milik kita sendiri?

Pohon memohon, budak-budak terlempar dari sarangnya sendiri. Sebab beribu-ribu perempuan mulai berjalan telanjang, dengan tangan-tangan memikul tanah, dari sebuah gedung tua yang tak bernyawa. Dan lihatlah burung gagak melumat daging anaknya, memakannya, menciumnya dengan sebongkah hati busuk milik cairan bumi. bumi yang kelak akan murka melihat tangan-tangan tergeletak di atas sungai, sampai cairan darah membusuk bagai kembang api di tiap tahun baru. Pernahkah bumi melihat senja turun dengan seribu malaikat tanpa kepala dan badannya? Anak-anak sedang turun dari jembatan yang indah, melewati kokok ayam milik dirinya, memangkul boneka dan robot-robot tak berhenti-henti tersenyum.

Dan uranium enggan untuk memajang sebuah lukisan darah dengan kepala yang terbelah dua, sebab roket-roket meluncur menembus awan dan udara dari segala arah air mata. Kuning dan abu-abu angin ini duduk bersebelahan sedang bertarung dengan cakar-cakar tuhan yang tumpul. Dan berharap jika surya datang melihat matanya, maka datanglah kehangusan, datanglah gumpalan daging rusa yang polos berbusa.

Sehingga sejenak memandang ranting-ranting pohon berguguran dari seberang jembatan rapuh yang duduk dan sendiri. Sehingga buah-buah yang terbang mengangkasa akan rapuh, akan duduk terselubung mencium dataran tandus, gersang dan ingin berucap semesta alam yang hilang.

Haraplah kau pahami jika sayap kelelawar hitam turut berpesta menghujam kening-kening anak kecil di ujung gedung, di ujung hati dan sebuah kumis tergulung sunyi nan merdu, sebab hati pun lelah untuk bertarung dengan dua belas tembakan pistol yang datang dari awan mendung yang hitam. Kalian tau, luka dan duka yang berdebu akan terbang bagai atom-atom berhembus melewati udara tandus dan berharap jika api turun menyertai gemuruh teriakan penghabisan, menyerah, menahan pilu yang mesra.

Bangkit Prayogo

Senin, 10 Agustus 2015

ROBOT-ROBOTAN




ROBOT-ROBOTAN
Bangkit Prayogo
Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan

AKU SANGAT SUKA ROBOT ITU, DIA TERKADANG MENARI, TERKADANG BERLARI, DAN TERKADANG BERSENANDUNG SANGAT ROMANTIS KETIKA AYAHKU SEDANG MENYETEL SALAH SATU NYANYIAN FAVORITNYA, KUBERITAHU JUDULNYA SEPANJANG JALAN KENANGAN.
“Ayah perbaiki robot-robotanku.”
Aku mulai mengiba pada ayah, sebab robot-robotanku ini permainan yang sangat tidak bisa aku lepaskan, entah kenapa aku seakan hidup di dalamnya, dan dia seperti pahlawan bagiku. Kemudian ayah menjawab dengan malas, mencecapkan lidahnya di sekitar gelas berisi kopi.
“Nanti ayah belikan yang baru, itu sudah rusak, sudah tidak layak dimainkan.”
Ayah mulai tidak mengikuti keinginanku akhir-akhir ini, mulai dari sepatu, sepeda, jam tangan, kacamata, sisir rambut dan utamanya robot-robotanku ini, dalam hatiku aku bergumam “Ih aku kesal sama ayah, aku mulai tidak percaya kata-kata ayah.”
            “Nanti ayah belikan yang baru, ayah janji padamu.” Ayah seakan mendengar gumaman hatiku barusan, entahlah.
            “Aku tidak ingin yang baru.”
            “Yang baru kan lebih bagus nak?” Ayah masih saja mencecapkan lidahnya, seakan rasa kopi itu pahit sekali, mungkin rasanya memang pahit, tapi akankah pahitnya hatiku ini sebagai anaknya, melihat robot-robotan, permainan yang paling anaknya sukai rusak, dan tidak dia dengarkan. Mungkinkah ayah mengerti perasaanku.
            “Ayah mengerti perasaanmu nak, ayah paham perasaanmu nak.” Sekali lagi ayah seperti mengetahui gumaman hatiku ini, ada yang aneh.
            “Apa yang aneh nak.”
            “Ayah nguping gumaman hatiku ya?”.
            “Maksudnya apa nak.”
Ayah berdiri, menghampiriku, suara kakinya diseret-seret seperti orang yang tidak makan dua hari dua malam, tangannya gemetar, tubuhnya bergelembung sedikit-demi sedikit matanya berair.
            “Ayah kenapa, ada yang aneh dengan ayah hari ini.”
Aku mulai curiga, aku berjalan mundur, mengindari datangnya ayah dari arah depanku. Entahlah aku sangat takut melihat ayah hari ini, kulihat jam masih siang, iya masih jam 12.00. kalau ayah kesurupan sangat tidak mungkin, karena masih siang hari, tapi kenapa dengannya. Ibu masih belum pulang dari rumah temannya, katanya sih ada arisan, dasar ibu-ibu. Kakakku dia selalu saja dapat kelonggaran, pulangnya malam terus, jarang di rumah dan katanya dia anak paling disegani di sekolahnya, aku tidak pernah percaya dengannya. Kembali lagi ke ayah.
            “Nak, sakit.” Ayah mulai mengucapkan kata-kata itu “sakit”, kata-kata yang punya arti sangat aku takuti, seperti keadaan menderita. Aku terus berjalan mundur, kutolehkan wajahku, dan jarak 5 meter lagi tidak ada jalan, hanya ada tembok, dan lukisan tentang pangeran diponegoro, tokoh pahlwan Indonesia.
            “Ayah kenapa, tolong jawab pertanyaanku yah!.”
            “Nak sakit.”    
Aku mulai geram dengan perilaku ayah ini, aku takut, jujur aku takut, tubuhku mulai berkeringat, jemariku lemas sebab udara yang juga pengab menjadi dingin sekali. Seperti ada hawa aneh, dan memang teriakku tanpa henti-hentinya tidak bisa kubayangkan lagi, ayah makin dekat saja. Disektiar tubuhnya mulai ada gemercik wajah yang aneh, dan sangat aku pahami jika tubuhku ini seperti kerasukan hal-hal yang aneh. Aku sangat tidak mengerti akan keadaan ini.
            “Yah!.”
            “Apa nak.” Jawab ayah sangat memelas, dan suaranya agak gemetar seperti orang yang tinggal mencari mangsanya yang lemas tak berdaya, “vampir” mirip itu, gumamku dalam hati.
            “Ampun yah, ampun.”
            “Kenapa minta ampun.” Jawab ayah, mulai ragu sebab tubuhku sudah mentok di tembok, tak ada jalan lagi, yang ada hanya keringat dan robot-robotanku. Anggap saja aku ini korban ketidaktahuan orang dewasa, tidak mungkin ayah begini, pasti ada sesuatu.
            “Ayah tidak apa-apa.”
            “Jawab yang jujur.” Sanggahku kepada ayahku ini, wajahnya mulai menoleh sekitar, dia ingin menghisap darahku ini, aku yakin, yakin denga presentase 100 persen penuh. Matanya melirik tubuhku, di sebelah leherku, ia ayahku berubah jadi vampir. Kenapa harus aku yang menjadi korbannya, aku coba berlari, tapi tidak bisa, tubuhku lemas melihat ayahku yang akan menghisap darah anaknya ini, anak yang masih tidak tahu apa-apa tentang dunia luar sana.
            “Ampun!” Teriakku sekencang kencangnya.
            “Kenapa kamu ini sih, ayah tuh loh sakit perut, dan saking sakitnya ayah minta tolong ke kamu untuk mencari obat di kamar ayah, ayah sekarang mau ke kamar mandi, aneh.” Ayah pergi terburu-buru, memegang pantatnya dan kurasa aku mulai tidak mengerti kejadian ini, tubuhku masih lemas, vampir, pembunuhan, kekerasan di bawah umur. Aku tetap melamun sangat tidak diduga-duga.
            “Cepat ambilkan obatnya!” Teriak ayah dari dalam kamar mandi, dan seketika itu aku bergegas menuju kamar ayah untuk mengambil dan mencari obatnya, robot-robotanku entah bagaimana nasibnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.30, waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga, ibu ada di ruang tamu dengan ayah, melihat acara televisi dan aku mendengar dari luar pembicaraan mereka, sepertinya mereka membicarakan permasalahan yang ada di televisi itu. Acara berita yang sangat mereka sukai, apalagi tentang permasalahan bangsa ini. Sedangkan aku tiduran di kamar, aku masih terheran-heran dengan kejadian tadi siang, apa yang aku takutkan? Dan mungkin aku terlalu cepat menyimpulkan sesuatu yang belum tentu benar. Aku mulai melihat jendela sambil tiduran di kamar mungilku ini, dari jendela itu aku bisa melihat burung-burung bercumbu, dan semut-semut yang berjalan mencari makanan. Selain itu, aku dapat mendengar bunyi angin yang merdu, seperti nada-nada ala jepang, yang mengalir melewati pegunungan dengan air datang seperti memulai arus indahnya itu. Indah sekali bunyi angin ini, dari sudut lainnya aku melihat cicak berbicara padaku, seperti mengucapkan salam perkenalan, “Ih cicak yang genit.” Aku memang sangat menganggap cicak itu hewan yang genit, coba kalian lihat saat ekornya bergerak mencari mangsanya yang perawan, dan dari robot-robatanku ini, dia ingin kembali bisa berbunyi, bunyinya mirip gajah, tapi setengah harimau, dan seperempatnya lagi kucing buaya darat.
Setelah kurasa puas melihat isi di luar jendela itu, aku kembali melihat robot-robotanku, kata ayah robot-robotan ini sulit ditemukan lagi, dan mungkin sudah tidak diproduksi lagi, sebab ayah yang membelinya sewaktu ayah dan ibu berlibur di kota Bandung dan waktu itu umurku masih 3 tahun, saat ini umurku sudah 7 tahun, tua kan robot-robotanku ini, itulah mengapa ayah sedikit tidak mau aku bermain ini lagi, sebab ya itu tadi, mungkin benar kata ayah. Aku sudah tidak pantas memainkannya.
            “Nak, cepat kesini.” Ibu memanggil dengan suaranya yang khas sekali, dia ibu yang sangat ramah, penyabar dan penyayang. Ibu paling sempurna buatku.
            “Iya.” Sesegera mungkin aku berjalan menuju ruang tamu, dan aku melihat ayah ibu sedang berbincang-bincang sembari meletakkan bungkusan yang aku tebak itu ialah kado. Aku berfikir lagi, apakah robot-robotan, atau jangan-jangan sejenisnya. Padahal aku ingin di perbaiki saja, karena ayah sendiri yang mengatakan kalau mainan ini sudah tidak produksi lagi. Tapi kalau pun itu mainan robot-robotan yang aku inginkan, maka aku sangat bersyukur mendapatkan orang tua seperti mereka ini.
            “Bukalah.” Suruh ayah kepadaku, matanya kulihat berair, dan wajah ibu mulai tersenyum manis, sangat aku sayangi mereka ini.
            “Iya yah.” Jawabku singkat.
Pelan-pelan aku membukanya, dengan rasa berdebar-debar, seperti suatu keadaan layaknya di film-film karton setiap hari minggu itu. Entahlah kejadian tadi siang, atau pun sebelumnya lagi. Aku tidak peduli akan itu semua, saat aku melihat hadiah yang mereka persembahkan buatku, aku rasa hari ini akan kucatat di buku harianku, walau pun aku masih belum lancar untuk menulis. Hadiah robot-robotan yang sama persis dengan yang aku miliki sekarang, aku sangat senang, sangat gembira. Aku seketika memeluk mereka, sangat erat, tanpa memberikan ruang mereka berbicara.
            “Terimakasih yah, bu.” Ucapku sangat manis.
Ayah kemudian melepaskan pelukanku, dan tiba-tiba wajahnya seperti tadi siang, ibu juga begitu mirip dengan ayah. Aku mulai cemas lagi, saat aku bahagia tiba-tiba saat ini juga aku merasakan ketakutan, apakah ayah dan ibu hanya berencana.
            “Jangan bercanda yah, bu.” Mereka tidak menjawab.
Seketika aku segera melihat robot baru ini, aku melihat matanya memerah, bibirnya tersenyum, dan tangannya bergerak seperti ingin membunuhku. Di televisi seketika saat itu juga ada sebuah berita yang memberitakan tewasnya semua anggota keluarga setelah membeli robot buatan salah satu pabrik, aku samar melihatnya dari jauh. Tapi akau yakin jika itu robot yang sama. Robot yang ada di hadapanku ini, aku mendengar pembawa acara itu mengatakan. “Jangan membeli mainan untuk anak anda dengan sembarangan.” Setelah itu, aku tidak tahu kejadian selanjutnya, sungguh aku tidak tahu. Sebab setelah aku terbangun, aku melihat ayah dan ibu terbaring di sebelahku, mereka berdua tidak sadarkan diri, dan aku berada tepat di tengah mereka. Samar-samar aku melihat kakakku sedang membaca koran, dengan berita utama “Bahayanya permainan zaman sekarang.”
            “Oh ternyata kamu sudah siuman.” Kakakku menghampiriku dia tersenyum melihatku yang sadar, dan memelukku penuh kasih sayang.
“Itulah ceritaku anak-anak, sebelum pulang bilang kesemua orang tua kalian, jangan dengan gampang membeli mainan. Dilihat dulu baik dan buruknya, untuk kalian semua juga jagalah orang tua kalian baik-baik, mereka semua harta paling berharga di dunia ini, mengerti.”
“Mengerti pak.” Jawab mereka dengan serentak, dan sesegara mungkin pulang menuju pelukan orang tuanya masing-masing. Sudah 20 tahun setelah kejadian itu, aku masih saja trauma dengan robot-robotan. Aku pun pulang mengikuti anak-anak didikku ini.

Rabu, 05 Agustus 2015

KAPTEN SEMUT ODON



            KAPTEN SEMUT ODON
Karya Bangkit Prayogo
Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan

Siang ini matahari seperti memberikan kehangatan dengan berlebihan, padahal manusia-manusia dengan tangan-tangannya sudah biasa datang dan pergi, melewati kami semut-semut malang, yang kecil dan imut. Andai manusia itu tahu, kami para semut sering mengeluh kepada Tuhan dengan perbedaan bentuk badan dan usia, manusia sudah terlalu enak dapat menikmati hidup di bumi yang indah ini.

Namaku Odon, aku selalu ingin menjadi kapten yang akan tangguh dalam sejarah semut nantinya, dan akulah Odon yang selalu ingin membuat gari-garis semut merah akan tetap kuat, aku anak tertua dari keluarga semut merah, sedangkan Bapak, dan Ibuku sudah menjadi etalase di sebuah tanah, dalam petak rumah. Aku anak tunggal, dan sering kulakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh semut-semut lainnya, aku selalu berfikir untuk menjadi raksasa, setinggi menara bulan, yang sering diajarkan oleh guru-ku diruang kelas, semut merupakan kekuatan yang tidak bisa diprediksi. Dahulu kala semut pernah mengalahkan gajah, melalui sebuah kerja sama segitiga, dengan formasi tembakan lurus, dan aku mendengar jika manusia yang baik mengeluh-eluhkan semut dengan sebuah kata “peribahasa” kalau tidak salah, namun aku tetap saja menganggap jika yang kecil tetaplah kalah, pada kemajuan ini aku sering menduga-duga jika dalam satu detik setelah ini mungkin manusia akan tiba-tiba menghancurkan rumahku, dengan air seni dan air yang hangat itu.
Semut tetap akan dianggap sesuatu yang kecil, Tuhan terkadang membedakan itu semua melalui bentuk dan semut seperti aku ini merasakan betul kekurangan itu, aku terkadang melihat burung memangsa kaki-kaki kami semut ini, manusia juga terkadang membunyikan suara di atas rata-rata antena pendengaran kami. Aku sering mengeluh dengan keadaan ini, keadaan yang tak kunjung untuk bisa dimengerti kelanjtuannya. Semut, dan sebuah keadaan yang ironis, ironis sekali, tinggal 300 spesies semut,di dunia, dan aku bagian dari itu. Tahun-tahun yang kulalui tak jauh dari tangan-tangan manusia yang jahat. Aku sadar jika itulah kekuatan manusia.
Setiap pagi aku sering melihat perang udara antara nyamuk dengan asap yang di buat oleh manusia, asap itu tidak enak dan tidak baik untuk dihisap. Banyak dari semut-semut juga menjadi korban, nyamuk memang selalu membuat masalah, perkembangan racun dan kekuatan terutama dalam kelincahannya membuat semut tidak ingin bekerjasama dengan nyamuk. Aku sangat setuju dengan hal itu, sering berbaris, dan kemudian kabur begitu saja.: padahal aku juga takut jika bertemu dengan nyamuk, takut mereka akan membawaku dan membuatku sebagai bahan eksperimen, gumamku. Aku selalu saja berharap jika aku keturunan terakhir kaum kesatria dari generasi semut merah, maka aku akan membuat bangga semut merah dihadapan semut-semut lain, juga hewan dan juga manusia.
Manusia sudah kuanggap mahkluk menyerupai babi, dan kerbau, mereka sering kencing sembarangan di atas atap rumahku, sehingga atap dan isi yang ada dalam rumahku menjadi bau, dan tidak bisa dikatakan sebuah rumah. Apalagi ketika aku melihat bagaimana teman-temanku sering mengalami kekerasan tindak pindana oleh tangan-tangan besar, awalnya kukira itu ialah tangan Tuhan, tapi setelah umur ini semakin tua, aku tahu jika itu tangan manusia, semakin membuatku benci dengan manusia. Mereka memeras, menginjak, mengencingi, dan sering menghancurkan kami dengan sebuah bau kentut udara yang sangat bau. Aku kira ada cara yang efisien untuk mengalahkan manusia-manusia itu. Kekuatan yang ada di dalam semut justru terletak dalam kerjasama dan keberanian, namun semut hitam yang ditunjuk sebagai kekuatan utama justru pergi dan memulai persekutuan dengan manusia dalam membentuk sebuah racun, “iya” racun yang terletak dalam jarum di belakang tubuhnya. Aku terkadang merasa tidak nyaman dengan hal ini semua, suatu beban berat, jika akhirnya semut merah, harga diri semut merah ada dalam tanganku. Memang begitu adanya, dan tampak jika itulah yang membuat semut kalah dalam kancah peperangan perang dunia ke 23 mahkluk hidup kecil, yang dikuasai oleh nyamuk dan sekutunya kumbang.
Hari ini, aku berjanjian dengan profesor semut terkenal di daerah pohon rosa, sebuah daerah yang jika aku jabarkan akan tidak mungkin kalian percayai, sedikit saja bocoran jika di daerah sana terdapat gunung dengan mengeluarkan perempuan-perempuan bernama bidadari, “iya” semut-semut jingga, semut dengan sayap dan buah dada yang menyenangkan. Namun, aku kesina bukan untuk hal itu, aku kesana untuk melihat dan mencium sebuah lukisan, yang konon menurut prof semut itu jika aku atau kalian menciumnya maka kalian akan menjadi besar, tinggi berlipat-lipat dan sangat indah untuk ditakatan sebagai sebuah Tuhan yang baru, namun itu masih sebuah wacana mitos, dan kesempatan tambahan untuk mengabulkan suatu permintaan, permintaan tersebut akan dipenuhi dengan sangat cepat dan ajaib, dalam hatiku: aku ingin mendapatkan perempuan dengan wajah melebihi sorga, dan bentuk tubuh melebihi bumi dan isinya. Kesempatan ini akan kubuat sebagai pelampiasan balas dendam terhadap manusia yang selama ini menganggap aku dan semut-semut itu sebagai mahkluk yang tidak berguna, aku akan membuat roket, dengan tenaga nuklir dengan memanfaatkan kekuatan alam semesta, aku segera saja berangkat menemui professor semut itu, dan aku mulai perjalanan.
Sudah sekitar empat jam aku berjalan, dengan melihat pemandangan-pemandangan yang sangat unik, aku melihat gunung setinggi awan, aku melihat daun-daun setinggi sinar kecil di langit itu, yang kata manusia adalah bintang. Sebut saja itu, dan aku juga melihat manusia-manusia sedang tidur, sedang mengeluarkan asap dari mulutnya, padahal itu racun buat kaum-kaum semut. Banyak yang menduga itu sebuah buatan manusia untuk membutakan kami semut-semut yang kecil dan lemah. Tiba-tiba, aku lihat dari ujung danau liteus, danau ketiga terbesar di dunia “semut”, aku melihat belalang menawarkan tumpangan untuk-ku.
            “Wajahmu terlihat capek, dan lesu!”
            “Selalu saja, semut dikucilkan, belalang juga mengatakannya”.
Aku mulai melepas tas ransel yang kubawa, dan dengan sedikit melumatkan mata kiriku, aku berkata “Aku butuh bantuan sayapmu, untuk menyeberangi danau ini”. Dengan tertawa, dan melepaskan sebuah sayap berbunyi keras itu, belalang segera mengajakku untuk berangkat menyeberangi danau luas ini, dan sekali lagi aku harus mengakui kelemahan kami semut-semut kecil.
            “Naiklah, dan kita akan berangkat untuk menyeberangi danau ini, dengan bayaran yang juga sepantasnya diterima! Haha”. Dia menertawakanku, dan aku hanya menganggap ini sebuah candaan dengan maksud untuk membuatku takut, “iya”. Kujawab dengan agak malas. Aku naik, dan mulai menyeberang.
“Namaku Odon, aku keturunan semut yang katanya merupakan generasi terakhir dari semut kesatria, dan aku ketempat itu untuk bertemu dengan seorang professor semut, yang konon menyimpan sebuah benda atau lebih tepatnya lukisan dengan kekuatan ajaib, dia mengabariku lewat sebuah mimpi, di malam ubir dan tanggal 123 setelah tanggal ini”. “Bisakah kau jelaskan lebih mudah lagi tentang ulasanmu barusan, semut Odon”.
“Baiklah, aku akan bertemu seorang professor dengan kekuatan ajaib, yang akan merubah nasib semut-semut dengan kepentingan dunia dan alam semesta, dan aku yang akan merubah itu semua”.
“Dengan kekuatan apa kamu merubah itu semua”, wajah belalang itu sedikit cetus, dengan gigi tampak kekuningan, dan perut mulai mengeluarkan tawa ejekan. “dengan keajaiban tadi!!”, aku jawab sekencang-kencangnya.
“Jika kamu bisa merubah itu semua semut Odon, maka aku belalang juga ingin kau selamatkan, terutama dengan kekuatan-kekuatan nyamuk, yang makin menggila, dua hari yang lalu nyamuk menyerang sarang kami, dan membius kami belalang dengan racun buatan baru. Padahal secara fisik dan kekuatan kami yang akan menang, nyamuk semakin cepat dan lincah”.
“Berapa korban yang ada di pihak belalang?” aku bertanya dengan tangan mengetuk badan belalang tersebut, seperti mengutarakan jika: sabarlah, itulah yang juga dialami oleh semut.
“Kurang lebih ada 250 korban jiwa, dan 350 jiwa selamat, itu masih hanya di daerahku saja, untung aku selamat, dan melarikan diri serta berpura-pura menjadi pelayan tumpang, untuk kepentingan mahkluk yang tidak bisa terbang, seperti kamu ini, ada kabar jika nyamuk akan menyerang kami lagi dengan kekuatan yang lebih dahsyat, mereka akan meminta bantuan pihak bebek hijau, dengan senjata nuklir alam semesta, tolong jika kamu memang akan melaksanakan dan bertemu untuk kepentingan itu, tolong juga belalang”. Aku diam, dan agaknya terkejut dengan cerita tadi, kugaruk kepalaku, dan kujawab:
“Baiklah”.
Kami banyak bercerita, sehingga tidak tampak dan terasa jika perjalanan tadi sudah berlangsung 30 menit, sepertinya tujuan dan ujung danau itu telah tampak terlihat, sebuah dermaga, tanah liat, dan para pedagang-pedagang pasar laut tetap saja berkelimpangan di sekitarnya. Ada buah-buahan, ada uang dengan daun terbelah, ada ubi-ubi, dan aku juga melihat semut hitam berjalan dengan gagahnya seolah mereka memang di tugaskan untuk menyelamatkan kaum semut, padahal tidak. Air danau, begitu tenang, kekuatan sayap belalang juga makin melemah, sepertinya dia kelelahan dan tampak jika itu semua merupakan takdir dari semua mahkluk lemah seperti aku dan belalang ini. Untuk nyamuk sepertinya mereka telah mengumandangkan perang besar, dan nyamuk memang telah bereksperimen tentang itu semua, hal ini membuatku makin bersemangat, ada dua musuh bagiku.
            “Manusia dan nyamuk!!”
            “Maksudnya apa Odon?” belalang bertanya dengan sedikit kepala menunduk, serta mengucurkan keringat atas panasnya cuaca hari ini.
            “Tidak apa-apa, hanya sedikit berkhayal, dan juga sedikit merasakan jika menjadi besar, tinggi serta kuat!”. Aku tersenyum malu, dan alat instingku serta tangan-tanganku ingin sekali mengucapkan; akulah penyelamat mahkluk-mahkluk kecil, dan akan di catat di sejarah buku dunia semut, atau bahkan buku-buku manusia nantinya. Aku sedikit tidak percaya dengannya, dengan juga me- nyembunyikan sebuah rahasia dalam arti semut, aku percaya jika semua merupakan kepalsuan, dan kebaikan bukanlah jaminan untuk kesuksesan ke depan, pandangan jika ada kekuatan dan rangsangan jika belalang yang kutumpangi ini tetap berbahaya secara kekuatan. Pulau sudak tampak, aku mulamun.
            “Kita telah sampai, semut Odon, semuat generasi terakhir semut kesatria, aku harapkan itu semua kepadamu semut Odon”. Tiba-tiba belalang itu dengan tampa pemberitahuan pergi dan terbang seperti sengaja untuk tidak menerima upahnya, kemudian aku berteriak, untuk mencatatnya dalam buku ingatanku:
“Siapa namamu belalang, siapa namamu!”.
Belalang tersebut hanya tersenyum, dan makin jauh meninggalkan aku untuk melanjutkan perjalanan ini, aku harap akan berjumpa dengannya lagi, dengan waktu dan situasi tertentu. Tampaknya aku akan tetap dikenalnya hingga nanti aku besar, dan kuat, aku beri saja dia nama belalang sutra, karena dia sempat menangis lembut ketika bercerita tentang kekejaman nyamuk. Aku kasihan dengannya, dan ku anggap itulah sebuah hati yang tulus, melebihi ketulusan perempuan bernama manusia.
Aku telah menginjakkan tempat dan tanah di sebuah pulau di dekat danau ini, menurut legenda, pulau inilah tempat berbagai bidadari tumbuh dengan alami, wajah-wajahnya sering terpampang bagai rembulan senja hari, dan itulah yang membuatku makin penasaran, namun sekali lagi aku bukan atas kepentingan itu semua. Dan kulanjutkan perjalanan ini, kaki, tangan memegang ransel, berisi catatan penting tentang generasi keluargaku. Kira-kira sejauh 100 meter dari pasir danau itu, aku merasa tubuh ini berat, kaki ini berat, dan mata ini berat. Tampaknya ada gejala dalam kulit merahku ini, aku merasa dalam tanah pulau ini, gaya gravitasinya jauh berlipat-lipat dari biasanya. Kakiku tiba-tiba melihat langit, kaki besar, sepatu, bulu-bulu, bunyi asap, bunyi bom, dan akhirnya aku melihat dari kejauhan fotoku terpampang dengan banyak wajah, sedang berciuman, sedang menyelamatkan bapak, ibukku, sedang menyetubuhi perempuan lain, dengan membuat nyamuk-nyamuk takut kepadaku. Aku coba mendekatinya, coba melawan kejauhan itu.
Tiba-tiba, bidadari dan seorang orang tua, bersama belalang tadi, menghampiriku. Meraka menciumku secara bersamaan.
“Aku semut yang lemah, maafkan aku”, aku ketakutan, tubuhku bergetar, tubuhku melihat waktu dan jam tangan kecil terus tidak berdetak, apa yang terjadi. “Lukisannya semakin banyak, ada merah, biru, ungu, kuning, hijau,dan abu-abu”.
Lukisan itu tiba-tiba mendekat, “Aku semut, Odon, generasi terakhir semut kesatrian, maafkan aku, mohon maafkan aku”. Bukannya menjauh lukisan-lukisan itu main mendekat, makin medekati tubuhku yang tidak bisa bergerak, sedangkan tiga mahkluk yang menciumku terus saja menciumku, dari belakang, dari depan, dari bawah.
            “Ciumlah!” suara datang dari ujung langit yang jauh, ciumlah,
“ciumlah dengan kuat, dengan kehangatan yang membuat balas dendanmu tersalurkan”.
 Aku mencoba mengadahkan kepalaku ke atas, dengan samar-samar kulihat manusia ingin menginjakku, manusia ini berambut panjang, warna putih, pirang dan suara dari mulutnya keluar:
“Aku tidak ingin menginjakmu, aku tidak ingin bermusuhan denganmu, aku menerima kabar dari belalang yang kamu tumpangi tadi, dia memberikan isyarat, jika nyamuk akan menyerang lagi, dan kamu akan menyelamatkan dunia mahkluk-mahkluk kecil sepertimu ini, aku hanya ingin memperlihatkan lukisanmu dalam masa depan, ciumlah lukisan itu, dan terimalah kenyataan dari semua yang kamu mau semut. Semut, aku tidak jahat”.
Aku merasa dalam mimpi, dia membawaku dan aku terbang dalam pelukannya, melampaui sejarah yang ada. Tentang professor tadi, aku melihatnya tertawa dari ujung sebuah bangunan kecil, sebelum sampai aku menjumpainya. Semut-semut dan belalang yang membawa lukisanku berubah nyamuk, berubah gelap, dan inilah perangku, perangkap.